Namaku Hikmah Dames, umur 24 tahun, sekarang tinggal di Batu – Malang. Semoga kalian paham sama apa yang ingin aku sampaikan, dan semoga juga menginspirasi. Awal keluhan hipertensi paru (PH) muncul waktu mau lulus SMA itu mulai sering sesak nafas, bahkan waktu pelajaran disuruh membaca tulisan dengan lantang membuatku ngos ngosan, pelajaran olahraga juga tidak bisa. Tetapi awalnya aku pikir kalau asmaku sedang kumat, riwayat pernah punya asma waktu kecil tapi aku suka olah raga jadi seiring waktu sudah tidak pernah kambuh lagi asmanya (sesak nafas yang bunyi ngik-ngik)
Kalau sedang asma, biasanya minum obat satu kali sudah membaik besoknya. Nah ini kok semakin parah rasanya, bahkan buat tiduran/bangun tidur harus pelan-pelan sekali saking sesaknya. Awalnya kontrol ke spesialis paru dibilang pneumonia dikasih obat obatan tapi tidak ada perubahan, browsing-broswing trus kepikiran untuk coba foto rontgen sendiri (hasilnya cardiomegali) nah mulai deh kontrolnya ke spesialis jantung.
Singkat cerita setelah echo (asd) – dirujuk ke RS Harapan Kita – di kateter kok ternyata tidak ada yang lubang. Dicek ini itu (lupa namanya), diagnosa berubah jadi emboli paru yang tidak diketahui sebabnya. Diberi obat simarc + sildenafil. Alhamdulillah membaik & bisa beraktifitas kembali tapi tetap haram naik tangga, pasti langsung sesak yang sampe tercekik dan kering tenggorokan. Sudah sekitar 5 tahun ini aku hidup bersama PH (Hipertensi Paru). Terakhir kontrol juga diagnosa berubah lagi, tidak ditemukan emboli tapi PFO + PH. Jadi masih bingung juga, diagnosanya tidak jelas.
Aku ingin share sedikit tentang keluarga. Keluargaku kurang harmonis, terutama mamaku bukan sosok ibu yg baik..
Intinya mulai aku bayi mama tidak ada, mungkin beberapa tahun datang (sering KDRT) hilang lagi, datang lagi, hilang lagi.. (sampai kakek pernah buat perjanjian diatas materai, mama tidak boleh mendekati anak-anaknya lagi), pokoknya aku itu sangat tertekan/takut. Nah, awal aku sakit itulah saat mama datang dan aku diajak tinggal satu rumah dengannya (rasanya seperti mimpi buruk bagiku) selang beberapa bulan saja aku tiba tiba sakit seperti ini, mungkin benar kata orang kalau pikiran & pencernaan itu adalah sumber penyakit yang terbesar..
Sekarang, setelah menikah, pikiranku lebih tenang, positif, legowo, suami juga sangat mendukung alhamdulillah, pengertian sekali, saat dia tahu bahwa aku beresiko untuk hamil dia hanya bilang “anak itu rizky dari Allah kalau memang belum ditakdirkan kita untuk punya keturunan tidak apa apa, setidaknya Allah sudah menitipkan bidadarinya untukku” mungkin itu juga yang membuatku merasa lebih baik (selain mencoba pola makan jadi lebih sehat)
Tetapi karena dia bilang seperti itu, justru membuatku semakin menggebu ingin segera punya momongan, apapun sudah dicoba sampai bayi tabung juga (meskipun para dokter sangat tidak menyarankan hal ini) tapi qodarullah masih gagal, tetapi pantang menyerah. Diotakku hanya ada satu, aku ingin sekali punya anak. Aku ingin mengajarkan anakku untuk menjadi seseorang yang sangat berguna & penuh kasih sayang (meskipun tidak mudah dan aku pun tahu resikonya).