Sakit Tak Menghalangi Saya Kembali Mengajar – Ambar – OPJ

//Sakit Tak Menghalangi Saya Kembali Mengajar – Ambar – OPJ

Sakit Tak Menghalangi Saya Kembali Mengajar – Ambar – OPJ

“saya berkeinginan untuk kembali lagi mengajar sampai sekarang.” – Ambar (Phers Jateng)

Assalamualaikum wr.wb

Selamat malam.

Perkenalkan nama saya Ambar, saya terlahir normal 29 tahun silam. Sejak masih kecil sampai dewasa saya tumbuh normal layaknya orang biasa hanya saja saya sering sakit waktu masih kecil dan ibu bapak menganggap sakit biasa saja. Sampai masuk SD, setiap olahraga lari selalu tertinggal dan ngos-ngosan seperti yang lain, waktu sampai juga biasa saja. Yang dulu sering sakit, SMP sudah jarang sakit. Waktu olahraga lari saya tertinggal jauh dari teman-teman yang lain. Waktu itu rasanya seperti mau pingsan dan saya memutuskan untuk beristirahat sebentar kemudian setelah capai dan ngos-ngosan hilang saya berencana melanjutkan untuk lari lagi tapi siapa sangka warga sekitar melihat saya seperti orang yang mau pingsan dan lemas kemudian membawa saya kerumah salah satu warga dan menelepon guru olahraga saya untuk datang menjemput saya dan membawa ke puskesmas, tetapi waktu saya mau dibawa ke puskesmas saya menolak karena merasa baikan dan tidak sakit sama sekali. Setelah kejadian itu, setiap jam olahraga lari saya selalu minta ijin untuk tidak ikut. Sampai sebelum masuk kuliah bersama dengan ibu saya periksa ke salah satu rumah sakit di Solo. Disana saya dironsen dicek semuanya kecuali jantung. Saya bercerita ke dokter peristiwa dan kejadian yang saya alami. Dokter hanya bilang iya memang semua orang kalau lari atau jalan beberapa meter ngos-ngosan, lalu saya dan ibu pulang dan tidak kembali lagi untuk cek jantung karena merasa baik-baik saja waktu dicek keseluruhan nya.

Setelah itu saya mulai masuk kuliah, sering naik turun tangga dan berpindah pindah gedung setiap mata kuliah yang berbeda, itu membuat saya sering ngos-ngosan dan cepat capai, lama kelamaan tubuh saya menyesuaikan diri dengan keadaan dan saya sempat bekerja sambil kuliah pada semester akhir. Setelah lulus kuliah saya bekerja dan menikah (pada waktu itu saya masih belum tahu kalau ada kelainan jantung). Selang beberapa hari setelah saya menikah, saya mengikuti suami kerja di Kalimantan. Beberapa bulan kemudian saya hamil dan saya memutuskan kembali ke Jawa karena suami pada waktu itu dipindah tugaskan didaerah yang cukup jauh dari kabupaten dan akses jalan yang terbatas.

Pada tahun 2014, saya melahirkan anak pertama di RS swasta di Sragen secara normal dengan berat badan 1.900 kg. Perawatan dan bidan yang membantu saya bilang bayi ini sehat dan hanya kurang berat badan dan kurang asupan gula, untuk itu bayi harus dimasukkan kedalam inkubator. Dari sinilah baru saya ketahui kalau jantung saya bocor, itupun yang mengetahui bidan bukan dokter. Pada saat itu saya sedang menjenguk bayi saya diinkubator, 1 bidan curiga dengan kuku dan bibir saya yang berwarna biru, kemudian beliau membawa alat (entah apa itu ) yang dipasangkan pada kuku saya dan ternyata menunjukkan angka 79, kemudian merujuk saya ke UGD.

Di UGD, dokter yang menanggani saya waktu hamil sampai melahirkan datang lalu memeriksa denyut jantung dan segala macam termasuk ekg. Disitu mereka memutuskan untuk merujuk saya ke rumah sakit daerah Solo. Sampai di RS Solo saya masih merasa bingung apa yang sebenarnya terjadi, saya sakit apa, kenapa dirujuk. Saya merasa kondisi saya masih baik-baik saja. Disana dokter mengambil sampel darah, cek ekg dan ronsen. Setelah jam 12 malam, baru saya dipindahkan kebangsal pagi harinya. Saya diUSG jantung disana. Perawat bilang kalau jantung saya TOF, entah apa itu.

Pada waktu itu suami saya belum mengetahui kalau saya dirujuk ke RS Solo dan baru diberi tahu setelah dalam perjalanan. Siang harinya saya meminta suami untuk pergi menjenguk bayi kami di RS Sragen. Sampai disana semua alat bantu pernafasan sudah terpasang pada bayi kami tetapi suami tidak memberi tahukan hal ini kepada saya. Selang beberapa hari kemudian suami dijemput oleh salah satu anggota keluarga dan diminta pulang kerumah oleh ibu mertua dengan alasan untuk mandi  lebih dulu dan makan, entah apa yang terjadi. Waktu itu saya merasa sedih dan menangis di RS sendirian.

Beberapa saat kemudian ibu dan adik saya datang bergantian menjaga saya dengan tersenyum ibu bilang, mau makan apa dan mencium saya. Beberapa saat kemudian suami datang tanpa memberi tahukan apa yang terjadi dirumah. Hari berikutnya saya membujuk suami untuk meminta izin pulang kepada dokter, saya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan bayi saya. Akhirnya malam harinya saya diperbolehkan pulang dan sampai dirumah sudah banyak sanak saudara yang menunggu saya dan datang berkunjung. Setelah semua pulang saya ingin menayakan tentang keadaan bayi saya. Kemudian ibu baru memberi tahu kepada saya kalau bayi saya sudah tidak ada lagi, waktu suami dijemput dan ketika saya masih di RS. Saya merasa sangat sedih dan kecewa kenapa saya sampai tidak tahu kalau bayi saya sakit.

Selang beberapa hari setelah melahirkan, badan saya merasa lemas bahkan untuk berjalan kekamar mandi saja tidak mampu. Semua kegiatan dari mandi, makan saya lakukan dikamar dengan bantuan ibu dan suami. Merasa badan saya lemas, tidak kuat berjalan dan beraktivitas serta belum mendapatkan obat, suami dan keluarga mengajak saya untuk berobat herbal. Badan saya perlahan-lahan mulai membaik, mulai mampu berjalan lagi dan melakukan aktivitas sedikit demi sedikit.

Pada bulan Januari 2015, dokter RS Solo memberikan jadwal cateter kepada saya. Setelah dilakukan penyadapan ternyata jenis kelainannya bukan TOF tapi VSD. Perawatan bagian USG jantung tetap yakin pada pendapatnya TOF, kemudian dokter meresepkan obat kepada saya dan hanya bilang tidak boleh hamil dulu karena ada PH  dan jantung masih bocor.

Awal minum obat baik-baik saja, lama ke lamaan jantung saya berdebar sangat keras dan kencang. Saya kembali lagi untuk control, kemudian dokter bilang kalau memang obat yang saya konsumsi obat kuat laki-laki dan harganya mahal. Dokter menyarankan untuk menghentikan minum dan menggantinya dengan obat yang lain, tetapi masih sama saja, masih berdebar dan akhirnya dokter hanya memberikan vitamin B kompleks sesuai keluhan saya.

Setelah mengetahui penyakit saya, saya mulai mengkonsumsi lebih banyak sayur dan buah-buhan yang disarankan dan tidak makan gorengan sama sekali. Jelang itu beberapa bulan kemudian, kondisi saya mulai membaik. Saya rajin kontrol sampai akhirnya sehat, tanpa mengkonsumsi obat apapun.

Pada bulan Oktober 2015, saya kembali lagi ke Kalimantan dan  tinggal bersama dengan suami. Sampai di Kalimantan jangka 1 minggu saya terkena DBD. Awalnya saya merasa sakit biasa setelah dicek darah ternyata DBD dan harus dirujuk ke rumah sakit yang jaraknya 4 jam dari tempat tinggal saya saat ini. Suami sudah merasa bingung dan cemas karena tidak ada sanak saudara disini dan tempatnya jauh. Sampai di RS kabupaten, saya dicek darah dan ronsen lagi. Cukup lama berada diUGD karena waktu itu memang musim DBD dan semua kamar sudah penuh. Akhirnya jam 12 malam mendapatkan kamar tetapi di VVIP. Tidak terbayang berapa banyak biaya yang keluar. Satu hari belum ada perubahan, dua hari trombosit menurun sampai harus mendapatkan transfusi darah tetapi pada waktu itu stok darah kosong dan harus cari pendonor darah sendiri, sampai akhirnya malam hari baru mendapatkan pendonor. Tidak cukup, 1 trombosit masih belum naik. Keesokan harinya masih harus cari pendonor darah lagi sampai 4 hari badan sudah lebih enakan tetapi trombosit menurun dan transfusi lagi. Akhirnya genap 1 minggu trombosit mulai naik dan dokter mengijinkan untuk pulang kerumah.

Pada akhirnya suami memutuskan saya untuk pulang ke Jawa terlebih dahulu dengan wajah yang masih pucat dan lemas. Saya bersama suami, bapak dan ibu pulang ke Jawa. Tahun 2016 saya meminta suami untuk kembali lagi ke Kalimantan untuk tinggal bersama dan bekerja kembali karena pada waktu saya sakit, saya berkeinginan untuk kembali lagi mengajar sampai sekarang. Sebelum kembali ke Kalimantan, saya pergi kedokter kandungan dan dari dokter kandungan saya diberi rujukan untuk periksa ke Sardjito. Disana saya memulai prosesnya dari awal mulai dari TTE, TEE, ekg dan cateter. Disana saya bertemu dengan dokter Kris dan hasil dari cateter PH saya pada wktu itu 127. Beliau memberikan resep sildenafil dan concor sampai sekarang, setiap libur sekolah atau 6 bulan sekali saya baru periksa kembali ke Sardjito.

 

Wassalamualaikum wr. wb

 

 

By | 2023-02-08T08:33:16+00:00 September 23rd, 2019|Our PH Journey|0 Comments

About the Author:

Yayasan
Yayasan Hipertensi Paru Indonesia adalah komunitas pasien, keluarga, dan kalangan medis pemerhati Hipertensi Paru. Silakan klik Daftar Anggota untuk bergabung dalam komuniitas dan klik IndoPHfamily untuk bergabung di forum utama pasien di Facebook
Open chat