OurPHJourney – Rani – Merelakan Mimpi, Mengganti dengan Impian yang Lebih Masuk Akal

//OurPHJourney – Rani – Merelakan Mimpi, Mengganti dengan Impian yang Lebih Masuk Akal

OurPHJourney – Rani – Merelakan Mimpi, Mengganti dengan Impian yang Lebih Masuk Akal

“Sulit awalnya merelakan mimpi, mengganti dengan impian yang lebih masuk akal. Terus banyak bersyukur dan ikhlas, melakukan hal apa yang disukai, yang menjadi hobi, itu yang dijalanin.” – Rina

Halooo para pejuang PH yang hebat-hebat, perkenalkan nama saya Rani 29 tahun dari Malang, Jawa Timur. Izin untuk share sedikit tentang perjalanan saya selama hampir 2 tahun ini bersama dengan si PH. Semoga di akhir sesi nantinya ada suatu hal yang bisa teman-teman ambil agar tetap semangat ya!

Sebelum di Malang, saya lahir dan besar di Bontang, Kalimantan Timur. Waktu SMA ujian lari saya sempat nyaris pingsan, waktu itu mikirnya gara-gara kurang persiapan dan jarang olahraga saja, karena setelahnya pun masih harus jalan kaki & naik tangga agak tinggi untuk balik ke area sekolahan. Itu bisa saya lakukan tanpa keluhan. Mungkin hari itulah awalnya muncul si ‘bakat’ mudah lelah dan sebagainya.

Tahun 2008 kos di Malang karena kuliah. Tahun 2009 sekeluarga pindah ke Malang. Selama kuliah alhamdulillah seperti biasa saja, tidak ada keluhan apa-apa. Kebetulan saya masuk Fakultas Kedokteran dan setelah kuliah selesai, masuk koass/dokter muda di RSSA Malang. Selama sekitar 1,5 tahun kami rolling ke semua bagian. Pertama di Penyakit Dalam 3 bulan semua aman dan lancar. Kedua, di Mata 1 bulan juga aman dan lancar. Ketiga, bagian Anak 2 bulan juga aman. Nah keempat, bagian Obgyn, di bulan terakhir saya tiba-tiba pingsan waktu jaga di IGD. Kata teman pingsannya sampai pucat & ada kejang. Haduh, aneh juga pikirku. Dicek semua saat itu juga, normal dan memang setelah sadar saya biasa saja bisa lari-lari, berdiri lama dan lain-lain. Kelima, bagian Kulit 1 bulan, inilah awal mula kerasa agak berbeda, pingsan lagi waktu naik tangga ke lantai 3 di toko baju. Untungnya bareng teman-teman pas itu, mereka bilang pucat sekali. Setelah sadar, mulai gampang capek kalo jalan cepat/lari/naik tangga. Sebisanya saya tetap masuk koass (walaupun harus ambil cuti 1 bulan). Masih kurang banyak puterannya, tiap hari selalu berdoa semoga diberi kekuatan, semoga kalau pas jaga pasien ‘aman’ tidak perlu heboh lari ke sana ke sini, jadi bukan saya yang malah jadi pasien di IGD, hehe.

Singkat cerita saya lulus koass, lanjut ujian kompetensi, lalu wajib magang 1 tahun kebetulan dapat di Mojokerto. Di sana alhamdulillah juga masih teratasi, kalau pas capek habis jaga ya sudah di rumah tidur saja begitu. Setelah selesai magang, kembali ke Malang. Beberapa bulan setelahnya saya kaget kenapa kedua kaki jadi bengkak ya. Feeling tidak enak, konsul ke dokter spesialis jantung. Dokternya bilang semoga bukan bengkak karena jantung, karena kamu masih muda, ini tes echo dulu. Ternyata dari hasil echo ketahuan ada si PH. Setelah didiagnosa seperti itu saya kaget pastinya. Karena setahu saya ini jarang banget ada pasien PH. Saya tetap lanjut kerja di sebuah klinik (ambil yang tidak terlalu tinggi beban kerjanya), sambil rutin kontrol dan cek-cek. Ternyata dokter bilang saya PH primer.

Hidup dengan PH pastinya membuat aktifitas sehari-hari jauh berbeda dibandingkan dulu. Saya jadi lebih sering di rumah, maksimal kalau harus keluar rumah cuma 6 jam-an. Setelah itu harus rebahan dulu beberapa jam. Jadinya saya belum kepikiran untuk ambil kerja di tempat lain selain tempat sekarang. Apalagi kepikiran untuk lanjut sekolah spesialis, karena kalau kondisi masih seperti ini harus hati-hati jaga diri dan tahu alarm tubuh masing-masing. Kebetulan pemilik klinik sudah tahu kondisi saya dan dia bisa maklum.

Keluarga bagaimana? Karena keluarga saya tidak ada yang dokter (selain adik), tentu awal-awal bingung dan mengira sakit ini bisa cepat sembuh. Bahkan tante om ada yang menawari alternatif ke saya. Lama-lama semua keluarga besar bisa mengerti, jadi kalau tahu saya lagi agak capek mereka tidak akan memaksa saya untuk ikut acara ke luar rumah misalkan.

Impian-impian bagaimana? Ya memang jadi banyak mengubur mimpi-mimpi yang dulu sudah direncanakan. Salah satunya adalah rencana sekolah. Tapi, saya sudah tidak sedih/marah/iri lagi dengan yang lain. Saya malah banyak bersyukur dengan kondisi seperti ini masih bisa bekerja, masih bisa ikut membantu orang-orang walaupun kinerja saya mungkin saja tidak semaksimal teman-teman yang lain.

Saya berbagi cerita disini ingin menyampaikan.. Teman-teman yang lain janganlah terlalu larut bersedih akan nasib, tetap bersemangat, lakukan apa yang masih bisa dilakukan walaupun hal kecil. Dijaga kondisi badannya masing-masing. Pintar-pintar cari tahu alarm tubuh. Kalau di saya pribadi, misal kaki ini sudah mulai pegal tanda-tanda mau bengkak lagi, langsung ambil izin kerja (lebih tepatnya cari dulu pengganti dokter jaga). Kalau capek banget bisa semingguan di rumah sengaja ‘hibernasi’. Kalau dengan trik ini masih tidak membaik, mau tidak mau saya wajib ke RS. Makan minum juga dijaga sebisanya, tidak sering makan makanan instan.Yang terakhir, tetap berusaha mencari kesembuhan (ke ahlinya ya alias dokter, bukan ke tempat lain) dan berdoa, ingatlah kalau Allah yang menciptakan kita dan beri kita makan dan minum, maka Allah pula yang menyembuhkan saat kita sakit. Alhamdulillah, semenjak dapat obat PH tidak pernah pingsan. Semoga tidak pernah lagi.

Meyakinkan keluarga agar mereka tahu kondisi kita dan tidak meremehkan sakit kita bagaimana? Kalau saya waktu itu ajak keluarga ikut waktu cek, ya ibu adik suami. Setelah dengar apa kata dokter, di rumah mereka nanya lagi. Tapi saya juga jelasinnya tidak cukup sekali dua kali, tapi berkali-kali dan bisa dibilang baru tahun kedua ini suami saya baru benar-benar bisa paham.

Merelakan impian dan tidak sedih lagi bagaimana? Sulit awalnya merelakan mimpi, mengganti dengan impian yang lebih masuk akal. Terus banyak bersyukur dan ikhlas, melakukan hal apa yang disukai, yang menjadi hobi, itu yang dijalanin.

Saya didiagnosa PH tahun 2016, baru bisa benar-benar menerima diagnosa tersebut setelah opname setahun lalu. Berbarengan dengan suami.. Sekitar 2 tahun dari diagnosa. Suami saya orang teknik, mungkin kalau dari medis lebih cepet nerima kondisi ini. Selain PH, saya ada heart failure dan pernah SVT.

Saya menikah umur 24 tahun. Sebelum ujian kompetensi.

Sementara ini saya terdiagnosa PH primer. Dulu sempat ct scan ketahuan ada emboli, tapi setelah dicek ulang tidak ada.. Sekarang obat yang saya konsumsi : kendaron (amiodarone) 1×100, sildenafil 3x25mg, dorner 3x20mcg, furosemide 1×40, spironolactone 1×25, dan warfarin 1.5tablet/hari.

Kapan-kapan ingin ke jogja biar ketemu dr Kris di Sarjito. Semoga ada jalan ke sana.. dulu pernah dirujuk ke harkit. Di harkit hasil diagnosa primer DD emboli sama dokter Mil waktu itu. Maksud DD ini seperti diagnosa bandingnya.. primer tapi curiga juga emboli. Sama dokter Mil juga sudah cek ulang, dicari lubang yang keciiiil sekali ternyata tidak ada. Jadi balik ke malang, dengan terapi tambahan warfarin cek INR tiap bulan, lapor ke dokter di sana. Setelah tercapai, dokter disana bilang cukup kontrol di malang saja. Ini masih perjuangan lagi buat mencapai target INR. Tiap bulan wajib cek.. PH saya tidak pernah hafal nilai persisnya, sekitar 70-80an. Sempat dirawat juga, dokter Sas sendiri yang jadi dokter penanggung jawab. Sebelumnya dengan dokter lain di RS lain, karen kondisi makin tidak jelas dan dirujuk ke RSSA.. saat sudah lumayan stabil baru dicek ulang.

Untuk hibernasi, yang biasa saya lakukan masuk kamar, tiduran posisi paling pinggir deket lantai (jadi tidak pakai banyak tenaga kalau mau naik turun kasur), selonjoran kaki diganjal bantal, buka hp/baca-baca, seringnya jadi ketiduran.

Keluarga suami bagaimana? Ini masih PR. Jujur saya masih sungkan sama mereka, apalagi awal-awal sebelum opname itu mereka masih mengira saya cuma kurang makan, kurang sarapan, kurang olahraga, begitu.. Sampai akhirnya waktu opname, pelan-pelan saya mulai cerita juga tentang sakit ini (karena sebelum itu cuma sekenanya saja, takut pusing mereka). Sekarang sudah jauh lebih mengerti walaupun kemungkinan masih 80-90% ya.

Bagaimana caranya bisa tidak galau dengan kondisi PH ini, di usia muda, di awal-awal pernikahan? Cara menangani beban mental dan bisa tetap fight?

Caranya dengan rajin ngobrol sama curhat ke suami, tapi bukan yang berlebihan gitu ya pasti dia bete juga kalau saya ngeluh terus.. lebih ke diskusi jatuhnya tapi santai.

Karena saya tidak jago basa-basi maka cukup sekian dan terima kasih. Kalau ada hobi, ditekuni. selalu terbuka dengan pasangan/keluarga/sahabat. Jangan memendam masalah sendiri, sudah sakit fisik jangan sampai pikiran kacau juga..

Baiklah..

Terima kasih juga semuanya. Mohon maaf kalau banyak yang kurang atau ada salah pilih kata yaa.

Semoga semua selalu sehat wal’afiat.

 

Aamiiiin

 

By | 2019-10-07T04:08:35+00:00 September 9th, 2019|Our PH Journey|0 Comments

About the Author:

Yayasan
Yayasan Hipertensi Paru Indonesia adalah komunitas pasien, keluarga, dan kalangan medis pemerhati Hipertensi Paru. Silakan klik Daftar Anggota untuk bergabung dalam komuniitas dan klik IndoPHfamily untuk bergabung di forum utama pasien di Facebook
Open chat