Oleh: Benedicta Rini
~ Menikmati Waktu Yang Masih Diberikan Dalam Napasku ~
Selamat siang teman-teman. Senang sekali pada kesempatan ini bisa berbagi perjalanan yang saya tapaki bersama PH (Pulmonary Hypertension).
Perkenalkan nama saya Benedicta Rini, atau biasa dipanggil Rini. Hampir satu dasawarsa -10 tahun- saya berjalan, berlari dan kadang tersungkur bersama si PH ini. Sejak 2015, diagnosa PDA PH ditegakkan. Saat itu saya berusia 33 tahun.
Sejak itulah sildenafil, beraprost, bisoprolol dan beberapa obat yang lain, selalu jadi menu wajib tiga kali sehari, sampai saat ini.
Waktu kecil, pernah ada diagnosa jantung bocor, tapi sudah dinyatakan aman oleh seorang dokter karena akan tertutup seiring pertumbuhan badan, katanya. Nyatanya tidak demikian. Gejala klinis yang dikenal sebagai paru-paru flek oleh orang jaman itu sering datang dan pergi. Pengobatan justru diarahkan ke paru paru hingga usia SD.
Ketika di sekolah menengah, saya hampir dikeluarkan dari sekolah karena dirasa tidak mampu secara fisik, untuk mengikuti dinamika kegiatan sekolah dan asrama yang sangat padat. Pasang surut kondisi badan terus terjadi : gampang capek, nafas berat untuk berjalan jauh atau berlari, dan tangan sering basah dengan keringat dingin.
Saat menginjak usia 30-an, umumnya kita berada di puncak masa produktif. Tapi sebaliknya, saya justru gampang tumbang dan semakin terbatas aktivitasnya. Waktu itu masih dalam tahun awal pernikahan saya dan suami.
Tantangan dan rutinitas bekerja, keseharian dalam rumah tangga, sosialisasi dengan lingkungan sekitar, dibarengi dengan hambatan gejala fisik yang datang dan pergi, membuat saya perlu membatasi kegiatan-kegiatan yang perlu banyak tenaga.
Sampai pada satu titik, muncul batuk berdarah, yang menjadi awal diagnosa PH. Dampaknya adalah saya harus lebih pilih-pilih kegiatan dan hati-hati dalam memanfaatkan tenaga.
Di tahun-tahun awal pasca diagnosa, saya berusaha keras memacu kondisi badan saya agar “siap operasi”. Nyatanya, kenyataan tak seindah harapan dan angan kita. Dokter berkata kondisi PH tinggi dan beberapa faktor lain membuat operasi terlalu riskan untuk saya jalani. “Lebih baik tidak dioperasi,” begitu kata beliau. Itu adalah tamparan keras kedua dari dokter jantung.
Sebelumnya beliau pernah berkata, “Jangan hamil ya, bahaya. Resikonya terlalu besar.” Padahal waktu itu saya dan suami baru saja menyelesaikan berbagai prosedur untuk promil. Bahkan sebelumnya, saya sepenuh hati menjalani operasi pengangkatan kista dengan harapan besar bisa segera dapat momongan.
Menerima kenyataan “sebaiknya tidak hamil” dan “lebih baik tidak dioperasi”, bukan perkara yang mudah. Ada rentang waktu dimana saya tetap menyangkalnya, berjuang supaya “masih ada peluang”.
Kenyataannya, saya malah semakin banyak terbentur keadaan. Saya yang awalnya sangat perfeksionis, dipaksa tunduk pada kenyataan. Meski pekerjaan saya hanya di belakang meja, kelelahan dan nafas berat sering saya rasakan.
Dan ketika saya beralih profesi sebagai guru di sekolah, gejala klinis batuk berdarah semakin sering muncul. Akhirnya kecintaan saya untuk bekerja di luar rumah harus pupus. Saya memutuskan bekerja dari rumah sebagai pengajar privat. Dan ternyata, tantangannya pun tetap sama.
Berbagai gejala klinis menjadi selingan di sela sela rutinitas harian—gampang kedinginan, semakin mudah lelah, jalan jauh tidak sanggup, saturasi tiba-tiba drop, dan kondisi terkait PH yang lain. Tapi menariknya, saya masih dan selalu bersyukur atas semua yang terjadi dalam perjalanan saya ini.
Mengingat ketika hampir dikeluarkan dari SMA, saya bersyukur saya mampu bertahan dan akhirnya bisa lulus dengan baik meski gejala klinis mulai banyak muncul. Ketika saya dinyatakan ada kista padahal baru beberapa bulan menikah, dan itu membuat saya sulit mendapat keturunan, akhirnya saya bersyukur karena jika saya hamil dalam kondisi PH, kondisi tersebut akan sangat membahayakan diri saya.
Ketika dokter berkata sebaiknya tidak operasi, saya bersyukur akhirnya bisa berdamai dengan kondisi saya, dimana saya bisa melihat banyak perhatian dan kasih sayang dari teman-teman dan keluarga atas kondisi saya.
Ketika setiap kali gejala klinis datang, bahkan ketika ada batuk berdarah, saya sadar bahwa ada saatnya untuk beristirahat dari semua aktivitas yang ada, menikmati waktu yang masih diberikan dalam napas saya.
Dan saya percaya, kita semua berjuang dalam keadaan dan situasi kita masing-masing. Tetaplah semangat teman-teman, dan tetap bersyukur…