Menulis untuk jiwa yang sehat-Kulwap

///Menulis untuk jiwa yang sehat-Kulwap

Menulis untuk jiwa yang sehat-Kulwap

KULWAP (Kuliah Whatsapp) adalah program tanya jawab lewat group di aplikasi whatsapp antara anggota YHPI dengan dokter/narasumber ahli lainnya untuk topik-topik terkait Hipertensi Paru yang diadakan secara rutin dan berkala.

Untuk bergabung dalam group whatsapp dan mengikuti kuliah berikutnya, silakan hubungi Admin Pusat YHPI 0811-8986-799

PENGUMUMAN KULWAP YHPI
  • Waktu             : Rabu, 16 November 2022
  • Pukul               : 19.00 – 21.00 WIB
  • Narasumber : Mariska S. Rompis, M.Psi. Psikolog
  • Tema               : Menulis untuk jiwa yang lebih sehat
  • Moderator     : Amida

Untuk melihat materi silahkan KLIK DISINI

Menulis merupakan aktifitas sederhana yang biasa kita lakukan sehari-hari. Apalagi untuk pelajar, mahasiswa, dan mereka yang berprofesi di bidang klerikal. Tapi tahukah Bapak/Ibu/Kakak Pejuang HP semua kalau menulis dapat bersifat terapeutik?

Dalam terapi psikologi, kami psikolog (dan psikiater) hobi lho memberi tugas atau latihan menulis kepada klien. Tujuannya pun beranekaragam – kadang saya minta klien menulis karena kliennya sulit untuk ekspresif (susah ngomong/ngomongnya dikit-dikit), atau untuk kliennya bisa memantau gejala kondisi mental yang dia punya (dalam setiap harinya misalnya nangis berapa kali) sampai ke menulis ekspresif di mana saya minta klien untuk menulis cerita/puisi/lirik lagu.

Menulis di sini ngga selalu dalam bentuk diary lho… ‘Dear diary, hari ini aku beli batagor terus rasanya ngga enak…’ tidak harus seperti ini, metode menulis seperti ini biasanya kami beri nama narrative therapy – penulisan narasi panjang, bebas, tidak berstruktur.

Menulis juga ngga harus pakai pulpen/pensil di atas kertas lho… mungkin ada yang sudah punya scrapbook atau bullet journal? Kira-kira tampilannya seperti ini

Jurnal seperti ini banyak tersedia di toko buku atau bisa diprint dari internet. Jangan khawatir, online juga ada kok, bisa tinggal diunduh dari aplikasi. Kenapa sih harus nulis? Mungkin itu ya yang ada di kepala Bapak/Ibu/Kakak semua. Nulis kan pegel ya, belum lagi harus banyak waktu yang dikeluarkan.

Menulis adalah salah satu bentuk ekspresi di mana pikiran-pikiran dan perasaan kita bisa disalurkan dalam bentuk lain selain ekspresi verbal (kata-kata). Sebenarnya, selain tulisan, ada juga bentuk ekspresi lain, seperti musik, drama, atau karya seni. Tapi, menulis lebih banyak dipakai karena ngga harus pake banyak alat (seperti musik/karya seni). Lebih irit, lebih praktis, lebih mudah – itulah menulis.

Dengan menulis, kita bisa mengeluarkan pikiran dan perasaan yang masih terpendam dalam kepala. Kita juga bisa belajar untuk melakukan refleksi dan melihat dari sudut pandang lain. Dengan itu, pikiran dan perasaan kita bisa mengalir lancar, ngga muter-muter sendiri dalam kepala sehingga menjauhkan kita dari stres.

Nah dari berbagai hasil studi yang sudah dilakukan sejak terapi menulis berkembang di akhir tahun ’80-an, menulis banyak manfaatnya nih untuk pasien penyakit kronik. Dari mulai bisa memantau simptom lebih baik sampai ke menguatkan fungsi organ-organ.

Tapi, biar adil, menulis juga punya hambatan dan kekurangan nih… dengan menulis, kita juga terpapar pada emosi-emosi negatif yang harus kita alami lagi ketika menuliskan kembali cerita kita. Belum lagi, menulis biasanya bikin cepet bosan – apalagi kalau yang pada bukan pujangga.

Ada beberapa strategi yang bisa diupayakan, seperti mengganti gaya menulis; bahasa; atau metode (seperti yang ada di dalam slide ya) atau kalau pahit-pahitnya susah sekali dilakukan, kita bisa mempertimbangkan alternatif lain seperti mengombinasikan menulis & menggambar misalnya atau yaa, kita switch saja ke karya seni misalnya.

1.Pertanyaan:

Nama : Isla, Usia : 36thn, Domisili : Sidoarjo Jawa Timur. Sebagai seorang pasien, banyak hal yang ingin saya sampaikan, ceritakan, dan luapkan ke orang2 terutama orang2 tercinta dan orang2 yang tidak memahami kita. Banyak hal berkecamuk yang ingin saya tulis, tetapi saat saya menulis tentang diri saya, perasaan merasa ini ceritanya lebay, apakah orang tidak akan muak membacanya, apakah orang tertarik dengan saya tulis. Bagaimana saya seharusnya?

Jawaban:

Selamat malam, Mbak Isla. Sebetulnya tidak ada yang bisa menentukan lebay atau tidaknya selain Mbaknya. Ini adalah pengalaman yang sungguh-sungguh dirasakan oleh Mbak. Justru, apabila merasakan ragam emosi tertentu akan lebih baik kalau kita tuliskan seterbuka-terbukanya agar waktu kita membacanya lagi, kita bisa mendapat insight kalau, “Eh sepertinya saya ngga perlu bereaksi seperti itu deh.” atau “Jangan-jangan orang ini maksudnya A ya bukan B.” Kita akan mendapatkan perspektif yang baru. Lebaynya kita malah bisa kita koreksi di kemudian hari. Mengenai orang akan tertarik atau tidak, itu kembali lagi kepada Mbaknya apakah hasil tulisannya itu memang ingin dipublikasikan atau hanya untuk media refleksi bagi diri sendiri. Kalau memang untuk dipublikasikan, Mbak bisa mencoba menunjukkannya sedikit-sedikit melalui media seperti blog, Medium, atau Wattpad.

2. Pertanyaan:

Nama : Debbie, Usia    : 50 th, Domisili : Cibinong Bogor. Pagi Dokter. Dok, saat dulu sehat saya suka sekali nulis Diary tapi entah kenapa saat sakit jadi tidak lagi menulis Diary berlanjut saya merasakan emosi dalam diri saya membuat lemah jiwa mental saya. Yang saya mau tanyakan apakah tidak bermasalah dengan tulisan yang meluapkan isi hati saya dok apakah tidak akan berpengaruh pada kesehatan saya nantinya.

Jawaban:

Selamat malam, Bu Debbie. Memang ketika kita sedang menceritakan kembali suatu pengalaman (misalnya dalam bentuk menulis ini ya), ada saja potensi untuk ‘membuka luka’ dalam artian jadi merasakan kembali emosi marah, sedih, takut, dsb. Jika emosi itu dirasa terlalu intens memang sebaiknya dihentikan terlebih dahulu. Kalau Ibu masih ingin tetap menulis, sebaiknya tidak dalam bentuk narasi seperti diari, tapi bullet journaling yang lebih pendek-pendek dan spesifik atau disertai dengan foto/gambar. Ibu juga dapat memilih konten apa yang untuk ditulis – misalnya, menulis tentang keberhasilan-keberhasilan Ibu sejauh ini.

3. Pertanyaan:

Nama esti, Usia 53. Domisili sidoarjo. Sebenarnya saya ingin sekali menulis tentang perjalanan penyakit saya di sosmed,tapi saya takut keluarga jadi kuatir berlebih dan jadi lebay membatasi gerak saya.

Jawaban:

Selamat malam, Bu Esti. Media sosial memang dapat menjadi pedang bermata ganda ya – di satu sisi kita bisa berlatih untuk terbuka dengan orang-orang di sekitar kita, di sisi lain, informasi yang sudah keluar, tidak bisa kita tarik lagi. Jika tujuan Ibu menulis adalah agar orang-orang di sekitar Ibu tahu apa yang Ibu alami, Ibu bisa memilah konten yang Ibu tulis dengan hati-hati. Misalnya, alih-alih menulis ‘Duh sedih banget deh hidupku bla bla bla’ yang tentunya akan membuat orang khawatir, Ibu bisa menulis, ‘Alhamdulillah, aku bisa melewati hal X…’.  Kuncinya di pemilihan kata ya, Bu.

4. Pertanyaan:

Nama: ELseria simanullang, Usia: 34 thn, Domisili: Medan. Sejak dulu memang saya sudah aktif menulis seputar sakit dan cerita2 hidup yang banyak lagi ,dan sampe sekarang juga masih demikian menulis2. Yang menjadi masalah,terkadang saat ingin menulis lagi,jadi teringat tulisan2 sebelumnya,gimana caranya supaya hal demikian tidak jadi mengganggu pikiran,sebab saat membaca cerita sebelumnya kebawa dalam pikiran. Terimakasih.

Jawaban:

Selamat malam, Mbak Elseria. Ada apakah dengan tulisan-tulisan Mbak sebelumnya? Jika terlalu menyedihkan atau memicu emosi negatif lainnya, bisa dibaca kembali saat emosinya sedang stabil atau tidak perlu sama sekali sebetulnya. Saya biasanya merekomendasikan kepada klien, di dalam menulis situasi yang memiliki bobot emosi tinggi, coba menulisnya dari sudut pandang orang ketiga. Bukan sebagai ‘aku’/’saya’ tapi sebagai ‘ada orang bernama X’ atau ‘X’ agar kita bisa memberi jarak antara diri kita dengan orang yang mengalami situasi tersebut. Dampaknya, biasanya klien dapat menjaga emosinya agar tidak terlalu terhanyut dan mendapat perspektif baru.

5. Pertanyaan:

Nama : Tria, Usia : 26 tahun, Domisili : Jakarta Utara. Selamat siang, sebelumnya saya izin bertanya. Semenjak saya sakit, saya sering menulis di secarik kertas atau mengetik di laptop mengenai penyakit saya dan apa yang saya rasakan, tetapi setelah selesai melakukan kegiatan tersebut dan saya membaca tulisan itu, saya sering merasa insecure atau seperti tulisan itu tidak penting yang ada malah membuat saya sedih atau keluarga saya sedih ketika suatu saat nanti membaca tulisan saya dan saya langsung menghapusnya.

1. Apakah yang saya rasakan itu berlebihan atau wajar ya ?

2. Bagaimana untuk solusi untuk perasaan yang saya rasakan ?

Mohon informasinya.

Jawaban:

Selamat malam, Mbak Tria. Wajar sekali, Mbak, ketika kita berada dalam situasi tidak menyenangkan untuk kita, kita bertanya-tanya, ‘ini sebenernya sesedih itu ngga sih?’ atau malah sampai membandingkan rasa sedih kita dengan situasi orang lain. Padahal, semua yang kita rasakan adalah valid. Sedih ya sedih, marah ya marah – tidak ada yang berhak menentukan emosinya berlebihan atau tidak. Kecuali… jika reaksi yang Mbak lakukan merugikan orang lain, misalnya saking marahnya sampai mukulin orang – itu sih beda cerita ya hehe. Alternatif yang bisa dilakukan, Mbak Tria bisa mencoba melakukan mood tracking, jadi di sini Mbak bisa menggunakan simbol warna atau emoji untuk menggambarkan satu emosi tertentu, berikut reaksinya. Misalnya :

‘hari ini seneng banget udah diajak pergi sama temen-temen (ketawa-ketawa terus deh)’. Mbak Tria selanjutnya jadi bisa mengevaluasi apakah reaksi emosi (contoh : ketawa-ketawa) sudah sesuai atau ‘berlebihan’.

6. Pertanyaan:

Nama: Dewi, Usia.  : 49, Domisili : Bekasi. Saya merasa menulis sangat membantu untuk mengatasi masalah apalagi yang menyangkut emotional seperti rasa sedih sakit hati atau apapun yang mengganjal di hati yang ingin kita ungkapkan(terutama untuk seseorang yang mempunyai sifat introvert).bagaimana caranya membantu seseorang yang tidak bisa menulis/ terbiasa menulis dalam hal mengatasi gangguan makan. Hal apa yang haris kita lakukan agar bisa membantu org tersebut agar bisa mulai mencoba menulis walau hanya satu alinea agar dapat mengatasi masalah gangguan makan (contoh bulimia atau merasa jijik pada jenis makanan tertentu) terimakasih

Jawaban:

Selamat malam, Bu Dewi. Sayangnya, kita tidak bisa mendorong apalagi memaksa orang yang tidak bisa atau tidak terbiasa menulis untuk menulis ya, Bu. Banyak kok alternatif ekspresi yang lain selain menulis, seperti dengan art therapy (menggambar, melukis, membuat mosaik, dll) atau music therapy (bernyanyi, memainkan alat musik, dll). Tapi, kalau dari individunya sudah ada ketertarikan menulis tapi belum biasa, kami psikolog biasanya merekomendasikan sejumlah alternatif, seperti scrapbook atau menulis surat dalam bentuk origami/pohon harapan sehingga lebih menyenangkan. Untuk gangguan makan, biasanya kami merekomendasikan menulis untuk sayamptom tracking – mengetahui berapa kali peristiwa memuntahkan makanan ia lakukan atau faktor pemicunya apa. Untuk meminta individu dengan Gangguan Makan menyampaikan sensasi, utamanya kami akan menggunakan talk therapy atau dengan berdiskusi.

7. Pertanyaan:

Nama: Nur Alfiani, Usia: 30 tahun, Domisili: Samarinda. Saya akui dok, dengan menulis membuat jiwa semakin sehat. Ada rasa kelegaan setelah merampungkan tulisan. Banyak juga tulisan saya sudah terbit menjadi beberapa buku. Tetapi, karena saking asyiknya menulis, kadang membuat saya lupa waktu, waktu makan bahkan waktu minum obat. Terutama saat mengikuti event menulis, hampir separuh waktu saya habis untuk menyelesaikan tulisan. Bagaimana cara mengatasi ritme agar seimbang, tidak hanya fokus menulis, tetapi juga tetap fokus terhadap kesehatan. Terima kasih pencerahannya dok.

Jawaban:

Selamat malam, Mbak Nur. Wah, alhamdulillah, hebat sekali ada penulis profesional di antara kita! Waduh, bahaya sekali dong kalau sampai makan dan istirahatnya jadi terbengkalai. Paling mudah yang bisa kita coba adalah dengan punya penjadwalan (tidak perlu yang terlalu ketat), misalnya rutinitas pagi hari apa saja; bekerja di jam berapa sampai jam berapa; makan di jam berapa saja; dan menulis di jam berapa saja. Mbak juga bisa menggunakan aplikasi-aplikasi yang membantu untuk membatasi waktu/menjadwalkan ya di dalam ponsel untuk mempermudah mengikuti penjadwalan yang sudah dibuat ini.

8. Pertanyaan:

Nama : Hendro, Usia    : 43 th, Domisili : Jakarta Timur. Saya seorang CareGiver dari penyintas (istri). Walaupun profesi saya bidang Teknik tapi saya menyukai sastra sejak jaman sekolah, bahkan dulu hobi menulis baik biography, cerpen dan syair lagu. Sayangnya terhenti dengan berjalannya kesibukan dan rutinitas stress pekerjaan.

Ditahun 2020, istri suspect jantung pediatrik PFO, lalu suspect TIA dan terdampak PH. Disitulah banyak cerita dihati saya yang ingin saya tuangkan dikertas putih. Mulai dari pelayanan medis, pengalaman asuransi dan fasilitas BPJS. Ini mau saya tuangkan ke Biography saya, tapi masih khawatir dengan impact/akibat tulisan nantinya, karena pasti ada ketersinggungan jika saya ceritakan sesuai realita dilapangan.

Pertanyaannya :

1. Apakah boleh menulis seperti itu di situasional saat ini?

2. Apa ini menjadi aura negatif atau positip jika tetap dilakukan baik bagi penulis, penyintas maupun instansi/lembaga yang terkait?

Karena saya akan bijak, yang baik saya bilang baik dan begitu juga sebaliknya. Terimakasih

Jawaban:

Selamat malam, Pak Hendro. Saya pikir informasi yang Bapak sampaikan dapat bermanfaat bagi orang-orang yang berada dalam perjalanan yang sama ya. Namun, saya setuju juga dengan Bapak bahwa perlu ada sejumlah pertimbangan yang dibuat, misalnya ketika sedang menuliskan pengalaman dengan satu instansi tertentu, cara menulis atau pilihan kata apa yang akan Bapak gunakan untuk terhindar dari – misalnya – UU ITE (jika dituliskan di media sosial/elektronik lainnya). Sama halnya dengan penyintas atau sesama caregiver, Bapak juga dapat berhati-hati dengan bagaimana informasi itu dikemas – apakah mungkin akan membuat orang lain tidak semangat (misalnya jika Bapak menyampaikan cerita keberhasilan Bapak dengan kalimat ‘Saya saja bisa, Anda juga pasti bisa’ mungkin bisa ada yang jadi berkecil hati jika tidak berhasil).

9. Pertanyaan:

Nama: fatma mazni putri, Usia: 42 tahun, Domisili: Pekanbaru. Saya suka menulis mbak, tapi sejak sakit ini malas itu lebih besar pengaruhnya daripada semangat. Terkadang lebih baik tidur dari pada menulis. bagaimana menimbulkan minat kembali dalam menulis walau itu hanya didalam buku diary saja? Apa yang menjadikan kita bisa semangat dalam menulis lagi? Terimakasih.

Jawaban:

Selamat malam, Mbak Fatma. Menulis memang merupakan aktivitas yang membutuhkan energi fisik – memegang alat tulis, mengatur posisi tubuh, berpikir, dsb. Jika dirasa terlalu berat untuk melakukannya, Mbak bisa mempertimbangkan alternatif-alternatif lain yang saya sebuntukan sebelumnya, misalnya dengan mengemasnya menjadi mood tracking atau bullet-journaling. Mbak juga bisa menggunakan aplikasi-aplikasi journaling di ponsel yang bisa diunduh gratis di App Store/Playstore kok. Dengan menggunakan gadenganet, energi fisik yang dikeluarkan dapat lebih minim dibandingkan menulis di buku.

10. Pertanyaan:

Nama : Bias, Usia : 27tahun, Domisili : Tasikmalaya Jawab Barat. Stlah saya sakit ga tau kenapa jadi banyak ketakutan dok, salah satunya ketakutan meninggalkan anak yang masih kecil & suami. Setiap malam selalu gabisa tidur di bawah jam12 malam kalo tidur selalu kebangun panik gakaruan sampai di kasih obat penenang sama Dr. Jantung saya. Bagaimana caranya supaya bisa berfikir positif dok?

Jawaban:

Selamat malam, Mbak Bias. Untuk penyesuaian dengan diagnosa yang baru diterima, saya pikir akan mendatangkan hal positif jika Mbak bisa melakukan konseling dengan psikolog / psikiater. Kecemasan-kecemasan yang Mbak miliki sifatnya wajar karena menghadapi kondisi-kondisi yang tidak pasti. Biasakan ceritakan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut pada orang-orang terdekat, pastikan Mbak selalu aktif berkegiatan setiap harinya agar tidak ada celah untuk pikiran negatif masuk, dan berikan ketenangan melalui olah fisik (seperti yoga dan meditasi) atau kegiatan spiritual (misal keagamaan) ya.

11. Pertanyaan:

Nama:Radi, Usia:30 THN, Domisili ;Subang. Siang,gimana yah menghilangkan fhobia atau rasa kecemasan ada diri kita sampe2 kalau ada rencana pemeriksaan, atau tindakan entah ct scan,atau rhc selalu selalu gagal ,yang ada di pikiran kita pikiran buruk saja entahlah takut gagal atau takut kematian ,,sampe2 dokter kebingungan untuk menggambil tindakan. Terimakasih.

Jawaban:

Selamat malam, Mas Radi. Sama dengan jawaban saya untuk Mbak Bias di atas, kecemasan-kecemasan terkait kondisi fisik atau disebut dengan health anxiety adalah kondisi umum yang dimiliki jika kita memiliki kondisi tertentu. Untuk dampak yang lebih efektif dan menetap, sebaiknya Mas juga berkonsultasi dengan psikolog/psikiater di sekitar (saat ini juga dimudahkan dengan telekonseling, seperti melalui berbagai aplikasi). Untuk sehari-harinya, harap terbiasa untuk aktif berkegiatan yang seimbang (ada upaya menjaga pola hidup sehat & aktivitas harian yang terstruktur), berinteraksi dan bercerita pada orang-orang di sekitar, serta mengedukasi diri dengan kondisi tubuh kita. Kebanyakan sumber kecemasan di awal biasanya karena informasi yang dimiliki belum cukup sehingga keburu panik.

12. Pertanyaan:

Nama: Desi puji. Usia: 28th, Domisili : madiun. Dulu waktu bayi saya pernah sakit2 an dan dokter mendiagnosis saya terkena flek. Alhamdullilah setelah kelas 3sd saya dinyatakan sembuh, semenjak itu saya tidak pernah sakit parah lagi/sampai opname. Dan tahun 2021 tiba2 saya terdiagnosis mempunyai jantung bawaan (PDA). Mulai saat itu saya mempunyai trauma terhadap penyakit, padahal saya sudah closure sudah stop obat juga. Tapi masih ada ketakutan didalam hati saya. Dan semenjak itu saya lebih suka menikmati kesunyian dihutan, menikmati alam dan tidak suka keramaian. Yang mau saya tanyakan bagaimana caranya untuk menghilangkan rasa trauma tersebut agar menjadi jiwa yang lebih sehat. Terimakasih dok.

Jawaban:

Selamat malam, Mbak Desi. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya butuh konteks sebetulnya dengan apa yang dimaksud dengan trauma serta kaitannya dengan melakukan isolasi sosial (i.e. menghindari keramaian yang disebuntukan di atas). Seperti 2 pertanyaan sebelumnya, untuk jawaban yang lebih jelas, saya pikir perlu didiskusikan secara spesifik dan mendalam dengan psikolog/psikiater yang nantinya Mbak pilih ya. Selewat, saya menangkap ada kecemasan pasca memiliki kondisi jantung dan upaya mengatasi (coping)-nya adalah dengan kegiatan di alam bebas. Menurut saya, ini adalah bentuk coping yang bagus di mana ada manfaat secara fisik (olah tubuh) dan perasaan tenang yang didapat, namun karena kegiatan ini bersifat pasif, kecemasan-kecemasan yang Mbak miliki tetap ada ‘tersimpan’ di dalam diri dan tidak keluar. Untuk itu, bercerita kepada orang, menuliskan secara reflektif apa yang menjadi sumber kecemasan adalah hal-hal yang saya rekomendasikan agar bisa menguraikan kecemasan yang tersimpan itu ya.

13. Pertanyaan:

Nama dinda, Usia 20th, Domisili:surabaya jawa timur. Izin bertanya dokter saya dulu sangat terbuka sama keluarga hal sekecil apa itu pasti saya ceritakan, tapi  semenjak ada sedikit problem salah paham sama  kelurga saya bener” Jadi anak yang tertup ga pernah saya ceritakan hal apapaun itu tentang kesehatan saya,mau cerita tapi rasanya kayak gak siap aja  dan lebih memilih untuk menyimpan sendiri. Menurut dokter bagaimana ya? Terimakasih dokter.

Jawaban:

Selamat malam, Mbak Dinda. Menurut saya, membuka diri memang perlu dilakukan ketika kita sudah siap. Siap di sini dalam artian, kita sudah memiliki kebutuhan untuk menyampaikan apa yang ingin kita sampaikan; kita sudah tahu mau menyampaikan pada siapa dan bagaimana; serta bisa membayangkan konsekuensi apa yang mungkin akan kita dapatkan (misalnya reaksi seperti apa yang mungkin diterima). Jadi, sampai Mbak Dinda sudah tahu poin-poin di atas, silakan dicoba sedikit-sedikit untuk terbuka ya. Ingat, apa yang pernah terjadi pada kita belum tentu akan terjadi lagi secara sama persis. Problem yang dulu belum tentu terulang lagi. Semangat!

“Untuk para Bapak/Ibu/Pejuang HP sekalian kalau menulis adalah sarana ekspresi emosi dan pikiran yang paling sederhana, jadi bisa banget untuk dicoba ya. Banyak manfaatnya juga baik kepada kesehatan mental maupun fisik. Ada beberapa metode dan sarana yang bisa kita gunakan – tidak selalu diary dan narasi panjang ya. Tapi jangan memaksakan diri, ada karya seni, musik, atau Tik Tok yang bisa dijadikan sarana berekspresi. Tetap semangat semuanya”._Mariska S. Rompis, M.Psi., Psikolog.

By | 2022-12-05T08:11:33+00:00 December 5th, 2022|Kuliah lewat WhatsApp|0 Comments

About the Author:

Yayasan
Yayasan Hipertensi Paru Indonesia adalah komunitas pasien, keluarga, dan kalangan medis pemerhati Hipertensi Paru. Silakan klik Daftar Anggota untuk bergabung dalam komuniitas dan klik IndoPHfamily untuk bergabung di forum utama pasien di Facebook
Open chat