Kuliah Whatsapp adalah program tanya jawab lewat group di aplikasi whatsapp antara anggota YHPI dengan dokter/narasumber ahli lainnya untuk topik-topik terkait Hipertensi Paru yang diadakan secara rutin dan berkala.
Untuk bergabung dalam group whatsapp dan mengikuti kuliah berikutnya, silakan hubungi Admin Pusat YHPI 0811-8986-799
PENGUMUMAN KULWAP YHPI
- Waktu : Selasa, 28 Maret 2023
- Pukul : 14.00 – 15.00 WIB
- Narasumber : Mariska S. Rompis, M.Psi., Psikolog
- Tema : Mengenali, Memahami dan Mengelola Emosi
- Moderator : Amida
Untuk melihat materi silahkan KLIK DISINI
1. Pertanyaan:
Nama: juli, Usia: 28th, Domisili: bandung barat. Bagaimana cara mengelola emosi disaat emosi emang benar-benar ga bisa dipahami.
Jawaban:
Selamat siang, Kak Juli. Nah, sebelum bisa dikelola, emosi ini memang kita mesti pahami dulu. Setidaknya, kita bisa nih ngasih label sama emosi ini – apakah marah, sedih, kecewa, dsb. Ada kalanya memang kita sendiri overwhelmed dengan emosi negatif, rasanya campur aduk. Kalau udah seperti itu, langsung ke langkah nomor 5, kita kelola dulu reaksinya. Respon fisik yang paling kerasa kita tangani dulu – misalnya pusing atau deg-degannya. Setelah lebih tenang, kita evaluasi nih ke belakang, apa ya yang kira-kira memicu munculnya emosi terssebut. Habis ngobrol dengan siapa, habis lihat apa di media sosial, dst. Penting untuk membiasakan diri merefleksikan emosi-emosi kita baik dengan menulis jurnal atau bermeditasi ya.
2. Pertanyaan:
Nama: Saras, Usia: 23th, Domisili: Bali. Bagaimana cara menghilangkan rasa trauma terhadap sesuatu dan orang?
Jawaban:
Selamat siang, Kak Saras. Penyembuhan trauma (trauma healing) sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan tenaga kesehatan mental profesional agar bisa ditelusuri bersama, dievaluasi dampaknya, dan ditentukan pendekatan apa yang paling cocok bagi individu tersebut. Segera diskusikan dengan psikolog/psikiater yang membuatmu nyaman ya kalau traumanya sudah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari.
Mohon maaf ya Kak jawabannya ngga bisa spesifik, nanti pertanyaan asesmennya panjang deh hihi. Untuk trauma apalagi yang termasuk trauma berat, mohon dikonsultasikan dengan psikolog / psikiater pilihannya ya.
3. Pertanyaan:
Nama : Iin, Usia :23 tahun, Domisili : Wonosobo. Bagaimana caranya seseorang lebih jujur pada emosinya? Sebab, selama ini sering menyembunyikan emosi, sehingga sering lupa apa yang harus dilakukan saat emosi.
Jawaban:
Selamat siang, Kak Iin. Saya perlu mengapresiasi dulu bahwa sudah ada kesadaran kalau suka menyembunyikan emosi. Ketika menyembunyikan emosi kita, kita berpotensi melakukan penyangkalan (denial) atau pemendaman (supresi) terhadap emosi kita yang akhirnya akan membuat emosi tersebut mengganggu tanpa disadari. Misalnya nih, ngga ada angin ngga ada hujan tapi tiba-tiba nangis kejer. Untuk bisa lebih jujur, kita bisa mulai dari diri sendiri dengan melakukan emotion tracking, contohnya. Setiap harinya, sebelum tidur, kita renungkan nih hari ini macam emosi apa yang paling dominan (marah/sedih/senang/kecewa/malu, dst) jadi terbiasa untuk melabel dan mengenali ya.
4. Pertanyaan:
Nama : Sunarti, Usia : 55 thn, Domisi : Tanah Tinggi. Bagaimana mengatasi emosi pada anak yang tak terkendali krn marah (usia 26 thn) mungkin banyak masalah pada pekerjaan dan masalah pribadinya.
Jawaban:
Selamat sore, Bu Sunarti. Pertama-tama, kita perlu tahu dulu nih, Bu, apa yang menjadi akar permasalahan anak Ibu. Betul, di usia pertengahan 20 biasanya masalah bersumber di pekerjaan dan/atau relasi romantis sesuai dengan tugas perkembangannya.
Ibu bisa memberi pertanyaan-pertanyaan terbuka, seperti, ‘Belakangan ini lagi sering kepikiran apa?” atau “Apa ada orang yang suka bikin kamu senewen belakangan ini?”. Tapi, jika anak Ibu belum mau terbuka, Ibu boleh memberikan umpan balik, “Ibu percaya kalau kamu (sebutkan perilaku marah-marah yang Ibu tidak suka, misalnya bentak-bentak) bukan untuk menyakiti Ibu. Tapi, itu yang Ibu (atau anggota keluarga lainnya) rasakan kalau kamu bentak-bentak. Apa memang Ibu yang tanpa sengaja bikin kamu marah atau ada yang lain?” sehingga anak Ibu terdorong untuk mengevaluasi reaksi emosinya. Tapi, kalau Ibu marah balik misalnya, yang ada malah adu argumen tuh.
Sunarti:
Sebagai ibu bingung marah2 gak jelas, nah kadang dinasehati tambah marah, kadang aku biarkan saja. Setelah itu, bilang kalau anakku mau marah diemin aja, ya gak enak do dengar juga kadang aku diam aja.
Jadi harus biarkan emosi nya meledak-ledak, mencoba diam dan tutup kuping setelah itu curhat sih, kadang terpancing emosi juga.
Psikolog:
Kalau menurut Ibu, reaksi marah putra/putrinya sudah berlebihan (misalnya : frekuensi ngomel/bentaknya sering atau bisa sampai melempar barang), bisa jadi indikasi stres yang lebih berat. Bisa diarahkan untuk ngobrol dengan tenaga profesional ya, Bu. Kalau stres didiamkan bisa jadi kemana-mana, bahkan ke badan.
5. Pertanyaan:
nama: lilik, umur: 28th, domisili: kudus. Bagaimana cara menyemangati diri sendiri, kadang cuma butuh ditanya “apakah kamu baik2 saja?” sesimpel itu. Jujur alasan aku fight itu anak. memang kondisiku stabil banget layaknya orang sehat tapi harus minum obat seumur hidup juga butuh sosok caregiver. apakah saya manja?
Jawaban:
Selamat sore, Kak Lilik. Oh tentu tidak dong, emosi itu tidak ada yang jahat ya. Merasakan emosi juga tidak membuat kita manja. Dalam situasi sulit, reaksi yang lumrah dari manusia adalah untuk mencari bantuan, termasuk di dalamnya bantuan emosional, seperti ditanya kabar. Kalau sudah tahu itu yang dibutuhkan, hebat lho bisa mengidentifikasi kebutuhan sendiri, Kakak bisa meminta ini dari orang-orang sekitar seperti pasangan dan keluarga. Sampaikan seperti, ‘Aku ada kalanya down lho kalau harus minum obat (sampaikan situasinya), senang banget kalau kamu bisa tanya perasaan aku atau nyemangatin aku” agar orang-orang di sekitar menjadi paham.
6. Pertanyaan:
Nama: Rian, Usia: 28, Domisili: Depok. Semenjak keluarga saya tau saya sakit, saya mendapat perhatian yang terlalu berlebih. Banyak aturan dan banyak ga boleh ini itu (padahal biasanya saya melakukan itu dan baik baik aja), tapi keluarga terlalu khawatir jadi saya ga leluasa. Hal ini membuat saya tidak nyaman dan emosi semakin tidak terkontrol. Sering meledak sewaktu waktu, marah sejadi jadinya, keluar kata kata yang ga seharusnya, tapi kalau rasa sedih justru dipendam sedalam dalamnya. Bagaimana cara menormalkan kembali suasana hati yang seperti itu?
Jawaban:
Selamat sore, Kak Rian. Aturan dari saya yang utama untuk klien dalam konseling selalu, ‘emosi negatif itu jangan ditabung, ngga akan berbunga jadi duit kayak deposito’ karena yang ada malah menghasilkan respon yang lebih mengerikan kalau ditahan-tahan. Ibarat nahan buang angin deh, sakit kan perutnya. Emosi juga sama. Kita boleh merasakan emosi apapun – setidak nyamannya emosi itu sah-sah saja tapi kita harus pikirkan reaksinya.
Misalnya nih, daripada marah ditahan-tahan yang ada memaki, kita bisa mengkomunikasikan emosi kita secara asertif. Sampaikan kepada keluarga kita dimulai dengan apa yang kita rasakan – penyebabnya apa – dan harapannya seperti apa. Contohnya, “Aku ngga nyaman/agak risih deh kalau Ibu/Ayah bilang aku harus A, B, C.. bisa ngga selanjutnya untuk melakukan D, E, F saja?” sehingga orang-orang di sekitar kita tahu bagaimana harus bersikap. Mereka kan juga bisa sakit hati yaa kalau tiba-tiba kita bentak. Ini sempat saya singgung di atas ya soal asertif
Rian:
Tapi mereka ga paham dan tetep kekeh sama aturannya. Jadi aku milih buat diem, ga ngelakuin aturan itu dan ga ngelakuin maunya aku juga. Lama lama stres sendiri. Ya karna bilang pun tanggepannya mereka ga sesuai maunya aku
Psikolog:
Susahnya dengan orang tua ya kak, adalah mencari bentuk komunikasi yang paling tepat. Kita sebagai anak, terlepas umur berapa, suka susah untuk ngga merespon orang tua kita secara emosional yang mungkin dilihat seperti ‘ngambek’. Ngambek, adalah bagaimana anak-anak berespon, sehingga orang tua makin pede dengan cara mereka karena berpikir kita bersikap kekanak-kanakan. Bukannya saya nuduh kk nya bersikap kekanak-kanakan ya, tapi bisa dievaluasi kembali cara penyampaian pada orang tuanya seperti apa.
Terlebih jika saya lihat usianya sudah 28, bisa jadi sudah independen secara finansial, sudah menikah atau keduanya ya. Ini bisa dijadikan bargaining chip juga dalam berkomunikasi, seperti, ‘Ma, aku kan udah besar nih, sudah menikah juga. Tolong dong perlakukan aku seperti usiaku. Aku juga ingin sehat, percaya aku cukup dewasa untuk bisa sampai ke sana. Tolong hormati boundaries/batasanku ya.” Dan ini akan butuh waktu juga untuk orang tua/keluarga terbiasa ya, kak. Semoga berhasil
”Emosi negatif ngga sama dengan duit ya, rekan-rekan sekalian, jangan ditabung.. yang ada malah ga enak, bukan seneng. Semoga bisa terus mengelola emosinya agar pikiran dan badan tetap bugar juga. Terima kasih atas diskusinya hari ini, semoga bermanfaat untuk rekan-rekan. Selamat melanjutkan berpuasa bagi yang menjalankan. Selamat sore semuanya.”_Mariska S. Rompis, M.Psi., Psikolog