Tema: Ketika Impian Harus Dipangkas
Oleh : Vega Annisa Solenta, M.Psikolog Klinis
Senin, 25 November 2019
Senang sekali malam ini bisa berinteraksi langsung dalam kulwap bertema ‘Ketika Impian Harus Dipangkas’. Semoga semuanya dalam keadaan yang nyaman, sehingga malam ini kita semua diberi Tuhan kerendahan hati untuk belajar kembali dan saling berbagi banyak hal baik.
Saat akan menyiapkan materi malam ini, saya sempat kesulitan. Kemudian, saya membayangkan bagaimana di posisi teman-teman disini yang tiba-tiba ‘harus’ atau ‘terpaksa’ memangkas impiannya karena suatu hal yang lebih penting. Jika saya dihadapkan dalam kondisi tersebut, pasti batin saya akan amat sangat bergejolak. Mungkin saya akan menghabiskan sekian waktu, sekedar untuk belajar menerima kondisi yang menyebabkan saya harus memangkas impian saya, tanpa melakukan hal lain yang mungkin bisa menjadi ‘pintu lain’ atau ‘impian lain’. Dan pada tahap itu, saya tidak tahu ujung akhirnya sampai kapan dengan posisi tersebut.
Teman-teman, apakah hari ini sudah meluangkan waktu untuk membaca materi saya?
terima kasih semua yang sudah meluangkan waktu untuk membacanya, belajar lagi.. terima kasih..
Setelah selesai membaca, kira-kira apa ya yang ada di benak teman-teman tadi?
nah ini… betul kata Mbak Novi.. adakah yang pusing? bingung?
Saya juga membayangkan…. ketika berada di posisi teman-teman disini, memangkas impian mungkin menjadi jauh lebih berat
Sebelum bertanya, saya ijin membagikan sedikit perspektif saya yang tdk saya tuliskan dalam materi yaa.. monggo, silahkan disimak dulu.,
Pada kondisi kesehatan (fisik ataupun psikologis) yang prima, memangkas impian sudah menjadi hal yang lumrahnya sulit. Apalagi, jika kita dalam kondisi kesehatan yang tdk prima. Maka akan lebih terasa berat, sulit, atau bahkan seperti sedang menghadapi ‘jalan buntu’…. Bingung mau tanya ke siapa, gelisah bosan dan jengah karena terus-terusan di titik yang sama, tapi seperti tidak ada ‘pintu keluar’ yang paling nyaman untuk dilewati. semua terasa buntu dan menyesakkan. “Lalu, aku harus gimana?”, mungkin pertanyaan itu yang seringkali terbesit dalam benak ketika sedang banyak ruang untuk berdiam.
Padahal, untuk kondisi kesehatan (baik fisik dan/atau psikologis) yang sedang menurun, tentu sudah banyak energi yang terkuras dalam proses pemulihan diri. Sehingga, berpikir tentang impian-impian yang tdk atau belum terwujud justru mungkin akan semakin menguras energi kita.. Begitu kira-kira yaaa..?
Karena itu…. ketika teman-teman sebetulnya sudah menghabiskan baaaaannyaaak sekali energi dalam proses penerimaan hingga pemulihan kesehatan, maka kali ini saya kepengeeen sekali ngajak teman-teman untuk lebih peduli dengan dirinya, setidaknya secara psikologis. Kami dari bidang psikologi mengenalnya dengan istilah self care. Seperti yang saya jelaskan dalam materi.
Monggo sambil dibuka kembali materinya. dicek lagi, apa sih self care klo kata Mbak Vega tadi…
Nah, menurut perspektif saya, memangkas impian sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap kondisi terkini menjadi salah satu wujud nyata diri yang ingin lebih peduli tentang pemenuhan kesejahteraan psikologis…
Maka jika berangkat dari perspektif tersebut, kita bisa katakan bahwa memangkas impian tidak lantas berarti Anda gagal, Anda kalah, atau Anda buruk. Melainkan, memangkas impian dapat berarti bahwa Anda lebih matang, Anda berada dalam tataran penerimaan yang lebih bijak terhadap kondisi diri terkini, Anda memasuki pintu lain untuk menyamankan diri dalam sikon yang sulit, Anda hebat, Anda pantas mendapatkan ucapan terima kasih, dll
Selain tentang selfcare, saya juga menitikberatkan materi saya pada 3 tahapan utk memulai selfcare. Yaitu, sadari diri, buat pemaknaan ulang, dan perbanyak strategi penerimaan.
Pada tahap 1, penting untuk mendapatkan kesadaran yang utuh dan penuh terhadap diri. Analoginya, kalau kita tidak sadar bahwa kita sakit asam lambung, maka bagaimana bisa kita sembuh? Kalau kita tidak sadar sedang sakit asam lambung, maka bisa jadi kita malah mengonsumsi obat yang salah, sehingga bukan kesembuhan yang didapat.
Pada tahap 2, pemaknaan ulang dibuat untuk membantu diri lebih mudah menerima berbagai situasi dalam kerangka realitas yang positif. Pemaknaan ulang ini untuk menemukan apa yang orang banyak sebut dengan hikmah. Tapi untuk menemukan hikmah, kebanyakan orang butuh waktu yang relatif tidak singkat. Mengapa? Karena mungkin kebanyakan orang tdk melalui tahap 1 dengan penuh dan utuh. Sehingga baru sadar di akhir2, “Oooohhh ternyata hikmahnya ini tooo…” begitu kira2.. maka menjadi penting setelah sadar, adalah membuat ulang makna tentang sesuatu.
Pada tahap 3, memperbanyak strategi penerimaan bisa digunakan sebagai cadangan obat saat kita tidak sedang betul-betul prima untuk mencari strategi tersebut secara objektif. Maka, menjalin interaksi dengan sesama yang mengalami hal serupa, misalnya, akan banyak memberi perspektif baru tentang bagaimana menerima. Jika pada satu pintu tersebut sudah terasa ‘buntu’, maka itu alarm bahwa kita perlu membuka diri terhadap ‘pintu’ lain, misalnya dengan membuka diri pada komunitas lain yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan diri
No. | Pertanyaan | Jawaban |
1. | Met malem.. Saya Dhian, 45 masih aktif bekerja sbg PNS.
Mungkin saya mau bertanya tentang selfcare yang berkaitan dengan emosi. Baru2 ini saya mengalami kejadian yang kurang enak, yaitu dimarahi oleh teman ( via WA) sebetulnya bukan ditujukan ke saya saja tp kelompok kami berempat. Reaksi awal saya merasa down, kemudian belakangan merasa dunia runtuh, dan saya jadi agak histeris (nangis lumayan kenceng) 🤦🏻♀. Apakah ada hubungannya kondisi fisik dan psikis saya dengan respon yang saya keluarkan, ketika mendapatkan reaksi negatif dari seorang teman? Apakah yang demikian sebuah bentuk selfcare?
|
Selamat malam Mbak Dhian (saya panggil Mbak saja ya, biar terasa lebih akrab dan tdk berjarak).. Terima kasih utk pertanyaannya.. Kondisi fisik dan psikologis pada dasarnya saling mempengaruhi. Di dalam psikologis, masih ada tiga aspek yang saling mempengaruhi, yaitu perasaan-pikiran-perilaku. Jika sedang marah, bisa jadi yang memenuhi pikiran adalah berbagai makian/kata2 kasar/umpatan, sedang dalam bentuk perilakunya terlihat diam atau bahkan agresif secara verbal ataupun non-verbal. Untuk Mbak Dhian, saya apresiasi sekali karena sudah mampu menyadari perubahan emosi dan menjelaskannya dengan rinci. Bahkan Mbak mampu memberi nama pada berbagai emosi tersebut, seperti perasaan down. Untuk di step ini, ada banyak org yang kesulitan, maka Mbak Dhian sudah bagus sekali telah menyadarinya. Ketika sudah menyadari, maka tinggal kita olah lagi responnya agar lebih nyaman dan adaptif utk diri dan juga orang disekitar. Mmmm…. karena Mbak Dhian sudah masuk di step menyadari, maka menurut saya, itu awalan yang baik untuk lebih mempedulikan diri sebagaimana konsep self care… terima kasih yaa.. |
2. | assalamu’alaikum dokter vega , perkenalkan nama saya rezka pasien PH Primer dari kalsel , sebentar lagi berusia 25 tahun , sejak 2 tahun lalu saya di diagnosa terkena PH , kondisi saya drop disaat titik kritis hidup saya sebagai seorang mahasiswa yang menyebabkan saya harus cuti satu tahun namun alhamdulillah tahun kemarin berhasil menyelesaikan kuliah saya meskipun harus jatuh bangun , alhamdulillah juga saya punya orang tua yang sangat supportif sehingga setelah selesai kuliah , saya tak terlalu lama terpuruk dan berhasil untuk bangkit menjalani hidup kembali
namun akhir2 ini ada fase dimana org tua saya berharap saya bisa mengikuti tes cpns agar bisa mendapat pekerjaan dan penghasilan tetap , sejak tau keterbatasan saya , saya tak pernah ngotot untuk menjadi seorang tenaga kesehatan sesuai jurusan yang saya ambil , karena saya sadar sebagai seorang tenaga kesehatan harus memiliki tanggung jawab waktu dan tenaga serta komitmen terhadap pasien yang saya tangani , padahal saya sendiri adalah seorang pasien , sehingga saya berusaha berdamai dengan diri sendiri dan berusaha mencari solusi lain terhadap keterbatasan yang saya miliki
pertanyaan saya adalah bagaimana cara saya berusaha berdamai dengan lingkungan saya , contohnya kepada org tua , meski mrk mengerti keterbatasan saya namun mrk pun masih memiliki mimpi dan impian yang besar terhadap hidup saya
kemudian jika bahasan sudah menyangkut masa depan hidup saya , terkadang saya merasa sangat sedih tidak dapat mewujudkan impian org tua saya , sehingga saya menjadi over sensitif dan tantrum terhadap org tua saya sendiri dan meskipun saya rasa saya sudah bisa menerima diri saya sendiri , namun jika ada tekanan dari luar , pertahanan saya pun goyah , hingga pernah saya dibilang over sensitif karena saya tiba2 marah dan menangis mendengar perkataan yang saya anggap sngat meremehkan dan menyepelekan penyakit yang saya derita , dalam kasus ini apakah self care saya gagal?
dan jika ini tidak keluar dari materi , saya juga ingin bertanya bagaimana cara agar saya bisa berdamai dengan lingkungan sosial saya , karena sejak sakit , saya skeptis org luar dapat mengerti apa yang sedang saya hadapi , sehingga saya menutup diri dan punya anxiety tentang pandangan org lain terhadap diri saya
|
Waalaikumsalam Mbak Rezka… Selamat ya, sudah berhasil merampungkan apa yang dimulai dengan berbagai peluh dan perjuangan yang tidak biasa seperti teman2 Mbak yang lain. Hebat sekali. Sudahkah memberi diri apresiasi yang diperlukan? 🙂 Hmm… bagi saya, tidak ada self care yang gagal. Yang ada hanyalah, pada saat itu mungkin cara yang kita pakai belum tepat sasaran, atau bisa jadi kita melewatkan step 1, menyadari, termasuk menyadari efek dari self care pada aspek lain yang mgkn tdk sesuai harapan kita. Kareena, self care akan ttp berdampak. Maka pada level ini, perdalam kesadarannya. Semakin kenali dan sadari diri, sehingga semakin tau dan peka thdp respon ringan yang ditunjukkannya thdp apapun yang Mbak coba berikan. Tentang lingkungan, mungkin bukan berdamai… Konsep berdamai rasanya lebih nyaman jika ditujukan utk diri. Sementara orang lain, hanya akan kita ijinkan utk lebih lebih lebih dan lebih memahami diri kita yang terus bertumbuh. Pasti lelah, terus-menerus menjelaskan dan memberi pemahaman pada orangtua. Pasti lelah, terus-menerus memahami dan menerima harapan orangtua yang terkadang terasa melewati kemampuan diri terkini. Maka pada saat begitu lelah, silahkan beri ruang pada aspek emosinya untuk mengalir keluar dari tubuh. Jika emosi tersebut bs keluar dengan adaptif, maka besar kemungkinan Mbak bisa mengelola gejolak emosi, berkurang respon tantrum, atau bahkan skeptis. Cara mengalirkan emosi gimana Mbak? Coba googling tentang katarsis ya. Banyak sekali jenis katarsis, utk memberi aliran bagi emosi-emosi atau bahkan pikiran negatif terhadap berbagai stresor. Mudah-mudahn menjawab pertanyaannya ya… silahkan mencoba.. |
3. | Mba q jg ngalamin kaya gitu,q dh ngajar 15 thn tp tiba2 q harus berhenti Krn harus istirahat total pdhl q dh seneng bngt ngajar setiap q ktmu SM anak didik qu rasa ya sedih bngt,gmn ya solusinya biar q bs konsen SM kesembuhan qu tanpa memikirkan yang lain,ni q sesuai materi ga
|
Halo Mbak Annialiyalisa…. terima kasih utk pertanyaannya, yang sepertinya mewakili cukup banyak orang yaa.. saya ajak Mbak untuk kembali ke 3 tahapan yang terakhir saya jelaskan ya.. mungkin di hari ini, saya rasa Mbak sudah cukup dapat menyadari diri ya.. sehingga boleh kita melangkah ke step berikutnya, yaitu memaknai ulang. Sebelumnya, saya respect sekali dengan profesi Mbak sbg guru atau pengajar. Pekerjaan yang akarnya mungkin masih sama dengan saya, berbagi dan bermanfaat. Saya memahami, bahwa berbagai kepuasaan saat bisa mengajar anak-anak secara langsung mungkin sulit didapatkan lagi jika saat ini praktis sudah berhenti mengajar… Namun, apakah esensi mengajar sebetulnya utk Mbak? Apakah mengajar itu merupakan aktivitas di kelas dengan beberapa anak didik? Apa kira-kira yang membuat Mbak menikmati profesi dan pekerjaan tsb? Yuk saya ajak Mbak utk sadari, kemudian maknai lagi tentang aktivitas mengajar, profesi guru, dsb. Dengan kondisi saat ini, apakah esensi dari kepuasan mengajar itu masih bisa aku dapat dengan jalan lain? |
4. | Selamat malam mb vega.. saya umi 28th asd ph dari jogja.
Sya ingin bertanya.. ketika kita sudah berupaya untuk memangkas tentang mimpi kita.. tapi diluar sana banyak yang mempertanyakan.. knapa tdk seperti ini.. seperti itu.. trutama mnyangkut hal tes cpns. Dan saat itu jwban sy hanya senyum saja.
Alhamdulillah kl ortu sudah mengerti bgaimana ttng sy.
Pertanyaan saya.. Apakah semua permasalahan/keterbatasan yang kita punya harus kita ktakan sec detail kpd orang trsebut..
Ktika kita sudah mau menerima utk memangkas kterbatasan. Tapi trkadang ada suatu waktu rasanya sedih sekali.. sebaiknya apa yang harus kita lakukan…
|
Selamat malam Mbak Umi.. terima kasih untuk pertanyaannya… alhamdulillah ya orangtua sudah mengerti tentang Mbak. Tapi, ternyata masih ada saja orang-orang yang belum mengerti. Lelah ya Mbak, klo terasa ‘harus’ menjelaskan lagi dan lagi stiap kali dinasehati, dikasih saran, atau seperti dibujuk. Hmm…. ketika memang lelah, maka ada baiknya utk tdk fokus memberi penjelasan pada orang lain. Melainkan lebih dulu, mengobati ‘luka’ dalam diri, seperti sedih yang tadi Mbak katakan. Mungkin, sedih tersebut berisi banyak pikiran-pikiran yang menyertai. Misal sedih karena impian harus dipangkas, sedih karena stiap ditanya pasti harus mengingat tentang beratnya menjalani sakit ini, sedih karena mungkin tdk lagi bisa memenuhi semua harapan/impian orgtua, dsb. Maka, jika menurut Mbak perlu, ada baiknya utk memberi diri ruang, mengalirkan berbagai emosi tsb dan membiarkan diri terus berproses dengan penerimaan terhadap kondisi terkini…. Orang lain dan bagaimana mreka akan memahami kita, bukanlah tanggungjawab kita Mbak… Tanpa kita menjelaskan secara rinci, mreka akan mungkin mendapatkan penjelasan dan pemahaman dengan prosesnya masing2. Tdk perlu memaksa diri utk berjalan ketika sudah tahu kakinya sedang terluka dan berdarah.. Istirahat, obati dulu kakinya, baru mungkin diri kita lbih nyaman utk menjelaskan ke orang lain bhw kaki kita sdg terluka.. begitu ya kira2… mudah2an menjawab pertanyaannya.. |
5. |
terima kasih mba vega penjelasannya.. perkenalkan saya fauziah 27 th.. jujur saja mba sulit sekali berdamai diri sendiri untuk bisa menerima bahwa saya tidak bisa lagi melakukan aktifitas yang saya sukai sprti misalnya naik gunung.. krna kesukaan suami sama kadang saya cuek cenderung marah tapi diam kalo suami cuma sekedar ngobrol tentang hal yang berbau gunung, sblumnya saya unfoll akun2 yang sering post kgiatan tersebut, sangat sedih sekali.. pertanyaan saya apakah saya salah dengan menghapuskan sdikit demi sedikit hal2 yang berbau kgiatan tsb? saya ingin sekali bilang k suami kalo saya sedih sbnarnya tapi saya tida mau menangis smntara saya menghela nafas mau crta itu saja sudah skuat tnaga menahan nangis 😁 terima kasih banyak mba vega sebelumnya |
Halo Mbak Fauziah.. Terima kasih utk pertanyaannya. Pada dasarnya, saya tdk bisa membenarkan atau menyalahkan apapun yang dilakukan org lain, karena itu sudah bukan tanggungjawab dan porsi saya. Dan sejujurnya, terkadang saya juga melakukan hal yang sama seperti Mbak, menghindarkan diri dari sumber stresor tertentu ketika menyadari diri sedang tidak begitu prima utk mengolahnya secara positif dan objektif. Nah yang bisa saya respon disini adalah tentang adaptif tidaknya strategi ‘menghindar’ itu. Jika cara itu, mampu menjaga stabilitas emosi Mbak, maka bisa dikatakan itu cukup adaptif. Tetapi jika akhirnya tidak memberi aliran emosi pada diri, melainkan justru membuat Mbak tanpa sadar mengendapkan emosi tsb dalam2, maka ini tidak cukup adaptif utk seterusnya. Mbak seperti sedang menyimpan bom aktif dalam diri. Yang bisa setiap saat meledak tanpa kita tahu efeknya sebesar apa. Maka yang paling adaptif adalah memberi aliran emosi tsb utk keluar. Mungkin, berkomunikasi dengan suami mampu memantik Mbak untuk mengalirkan emosi negatif tsb. Mengapa mau menyimpannya? Mengapa tdk mau menangis? Masih mau menyimpan emosi negatif dalam diri? Mau sampai kapan? |
6. | Assalamualaikum , saya Dewi , 27th , ASD pH .. apakah memangkas impian itu seperti misal kita ingin menjalankan bisnis/ usaha , lalu karena kita dikasih sakit jadi gak usah lah ngurusi usaha” macem itu , urusi aja diri sendiri yang lagi sakit??? Atau kita bisa bangkit dengan melanjutkan usaha” itu ??? Terimakasih .
|
Waalaikumsalam Mbak Dewi… terima kasih pertanyaannya.. seperti dalam materi yang saya sampaikan.. bhw memangkas impian itu mengarah pada penyesuaian diri terkini thdp impian-impian yang dimiliki. Makna penyesuaian bisa bermacam2 bergantung pada kondisi fisik dan psikologis tiap org. Penyesuaian bisa bermakna ‘berhenti mengejar impian’ jika memang pada saat itu secara fisik dan psikologis hanya mampu beristirahat di atas tempat tidur, dengan semua kebutuhan dasar dibantu org lain (makan, BAK, BAB, dll), shg secara medis pun tidak dianjurkan utk beraktivitas banyak apalagi berat. Tetapi penyesuaian itu juga bisa bermakna ‘boleh deh dilanjutin mimpinya, tapi coba pake jalan yang lain kira2 bisa ndak?’, ketika kondisi fisik tdk memungkinkan utk aktivitas berat, tetapi secara psikologis masih mampu berpikir, mengarahkan dan mengembangkan diri atau orang lain (misalnya jika memiliki pegawai/karyawan sendiri), dll. Utk itu, silahkan kembali ke tahapan 1, untuk menyadari, tentang ada di kondisi seperti apa saya secara fisik dan psikologis. |
7. | Assalamualaikum saya Nur wahyuni usia 40th dari Pasuruan saya punya 2 putra ,1 SMA dan 5 SD.Menjalani pengobatan slm 3th,baru ketahuan diagnosa ASD +PH stlh d rujuk ke RSSA Malang.Saya sempat mengalami down dg penyakit saya di saat yang bersamaan suami tdk bkrja ktn Bosnya mengalami kebangkrutan.Keadaanpun makin runyam,sering uring2an,srg mengeluh
,srg nangid dsb.AlhsmdulillahAllah menghadirkan orang2 baik dlm komunitas poditif yang mbuat saya bangkit dr keterpurukan saya menemukan 5 impian besar yang tdk prnh terfikir sblmnya .Saya yakin dg kekuatan fikiran dan kekuatan doa selalu self talk positif dan Therapy gratitude apa termasuk Self care dan apjah salah jika punya impian besar. 🙏
|
Waalaikumsalam Mbak.. terima kasih utk ceritanya. Wah di Malang ya, dekat dengan tempat saya. Terima kasih telah membagikan cara Mbak Nur utk memaknai ulang berbagai kondisi berat tersebut dlm kerangka yang positif. Meski sulit, tp nyatanya Mbak Nur mampu bukan? Sehingga monggo utk teman2 yang lain jika ingin mengambil energi positif ini dari Mbak Nur… terharu sekali membaca kata per kata yang disampaikannya.. hebat..terima kasih sudah bertahan dan menjadi sekuat itu Mbak.. |