Laporan Acara Jogja International Cardiovascular Topic (Jincartos) 2017
by perwakilan YHPI – Andi Higiyanto
Acara diadakan di UGM dengan pembicara sebagai berikut :
1. dr. James Yip dari Singapura
2. dr. Noriaki Emoto dari Jepang
3. dr. Bambang Budi Siswanto dari Indonesia
4. dr. Lucia Kris Dinarti dari Indonesia
5. dr. Kazuhiko Nakayama dari Jepang
6. dr. Thi Duyen Nguyen dari Vietnam
7. dr. Truong Thanh Huong dari Vietnam
8. dr. Budi Yuli Setianto dari Indonesia
9. dr. Indah Kartika Murni dari Indonesia
Presentasi pertama oleh James Yip. Beberapa poin dari presentasi beliau:
– Indonesia butuh PH center yang banyak karena populasi banyak sehingga penderitanya juga banyak sekali
– Terbatasnya dokter spesialis yang betul2 paham tentang PJB – PH
– pasien PJB meskipun sudah dikoreksi tetap harus dipantau seumur hidupnya
– Usia untuk koreksi sebaiknya < 30 tahun
– Beliau juga mempresentasikan tabel untuk mengukur 5 years mortality rate pada pasien dengan parameter: Pre-tricuspid shunt, Post tricuspid or complex shunt, PE absent, PE present, Usia pasien, Saturasi Oksigen, 6MWT distance. Tabel ini didapat dari hasil MUSES study.
– Resiko kehamilan pada pasien PJB
– Cyanotic CHD (R -> L shunt) membutuhkan Hb yang tinggi. Jadi pernah ada kasus pasien cyanotic CHD hbnya tinggi diturunkan malah pasiennya meninggal keesokan harinya. (Semoga ini saya gak salah denger ya, coba dikonfirmasi lagi dengan dokter masing2)
Presentasi kedua oleh dr. Truong Thanh Huong dari Vietnam.
Beliau lebih banyak bercerita kondisi CHD-PH di vietnam. Hampir mirip2 sih dengan di Indonesia karena sama2 negara berkembang. Beberapa highlight yang saya catat:
– Penyebab PH terbesar di vietnam yaitu ASD, VSD, PDA.
– Obat jenis ERA seperti bosentan tersedia di vietnam tapi juga gak dicover oleh national health insurancenya. Dicover kalo pas opname aja, setelah keluar dari RS tetep harus beli sendiri bosentannya
– Tingkat kematian paling tinggi untuk pasien PH-PJB di vietnam yaitu karena kehamilan, kemudian menyusul aritmia, pneumonia, Pulmonary thromboembolism, dan terakhir heart failure.
Note: Jadi buat temen2 ingat ya sebaiknya jangan hamil kalau kondisi blm memungkinkan. Trus ternyata aritmia itu juga bahaya ya, saya baru tau ini. Trus pneumonia jg bahaya, makanya pasien PH wajib hukumnya untuk vaksinasi pneumonia plus influensa.
Pembicara ketiga yaitu dr. Budi Yuli Setianto dari Indonesia.
Highlightnya:
– PJB perlu perhatian khusus untuk penanganannya karena cukup kompleks
– Banyak pasien PJB terutama di negara berkembang tidak dikoreksi karena tidak terdeteksi sejak dini, sehingga sering terjadi sudah komplikasi dengan PH
– Perlu evaluasi yang sangat hati2 sebelum diputuskan koreksi PJB, dan follow up setelah koreksi juga sangat penting untuk dilakukan
Pembicara keempat yaitu dr. Indah Kartika Murni dari Indonesia. Beliau adalah spesialis jantung anak.
Highlightnya:
– 1 dari 100 bayi lahir dengan PJB atau 50.000 bayi tiap tahun (woowwww banyak banget ya, bisa dibayangkan kalo semua jadi PH)
– Studi yang dilakukan dari 838 pasien PJB anak, 81% mengidap acyanotic PJB (ASD, VSD, PDA), sisanya cyanotic
– Kemudian juga melakukan Qualitative study yaitu dengan menginterview para orang tua. Hasilnya: kebanyakan PJB pada anak tidak terdiagnosa sejak dini karena kesalahan pada orang tua ataupun dokter yang tidak menguasai tentang PJB atau bahkan menganggap enteng gejala2 PJB yang terjadi pada anak (dianggap sakit biasa aja).
– Tanda-tanda atau gejala PJB pada anak: sering batuk yang tidak jelas penyebabnya, nafas cepat dan berat, sulit makan, berat badan kurang, keringat yang berlebihan, murmur jantung
– Bagaimana supaya PJB tidak terlewat dari deteksi dini: Sering-sering cek saturasi oksigen pada anak, detak jantung ataupun suara jantung yang abnormal harus selalu dianggap serius, selalu pertimbangkan PJB setiap kali bayi sakit.
– Cara ngecek saturasi oksigen pada bayi umur 1 hari sebenernya ada petunjuknya. Tapi ini sebenernya tugas dokter sih, bukan tugas kita. Mungkin tugas kita cuma nanyain ke dokternya udah dicek saturasi apa blm. Jika hasil saturasi <90% kemungkinan besar PJB
– Dua komplikasi terbesar PJB yaitu gagal jantung kongestif, dan Hipertensi Paru
Seminar sesi pertama berakhir pk 11.30 kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab yang dimoderatori oleh Prof Emoto dan dr. Wulan Aviantoro, trus lanjut makan siang.
Sesi kedua dimulai tepat pk 13.00 dengan pembicara pertama Prof Noriaki Emoto dari Jepang dengan topik “Pathogenesis and Drug Development for PAH”.
Menurut saya ini adalah presentasi yang paling menarik karena ada beberapa hal baru yang bisa menjadi harapan pengobatan PH yang lebih baik di masa yang akan datang.
– Data-data di luar negeri terutama di US dan Eropa, penyakit PH yang paling banyak ditemukan malah yang tipe idiophatic. Beda dengan di asia, kebanyakan karena PJB. Mengapa bisa begitu? Ya karena di negara maju deteksi dini PJB bisa dilakukan dengan lebih baik
– Klasifikasi obat PH di dunia: ERA (bosentan, ambrisentan, macitentan), Nitric oxide (Sildenafil, Tadalafil, Riociguat), Prostacylin (beraprost, epoprostenol, selexipag). Ada banyak sebetulnya obat PH di dunia, tapi di Indonesia yang available baru beraprost (dorner), Sildenafil dan Iloprost.
– Risk assessment in PAH (tabel terlampir)
– Di Jepang skrng baru dilakukan berbagai penelitian / berbagai teknologi baru untuk mengatasi PH. Salah satunya yaitu mempelajari mutasi gen yang bisa menyebabkan PH.
– Sedang diteliti juga mengenai personalized medication, dengan tujuan dapat ditemukan pengobatan yang paling efektif bagi pasien, karena kondisi pasien berbeda2 dan blm tentu cocok dengan obat tertentu. Contoh: ditemukan gen pada pasien PH yang ternyata tidak cocok jika diobati dengan bosentan. Wah ini sangat menarik banget informasinya.
– Sedikit membahas tentang IMATINIB, yaitu obat kanker yang kadang-kadang bisa efektif untuk pasien PH. Memang IMATINIB ini tidak diapprove sbg pengobatan PH, tapi kadang bisa membantu pasien2 PH tahap akhir yang sedang antri untuk transplant paru.
Pembicara berikutnya yaitu dr. Bambang Budi Siswanto dengan topik Pulmonary Hypertension in Indonesia.
Pembicara berikutnya yaitu dr. Nakamaya dari jepang dengan topik CTEPH.
Pembicara terakhir yaitu dr. Kris Dinarti dengan topik PH in ACHD, from registry to policy. Beliau mempresentasikan profil penderita PH yang berobat di RS. Sardjito, kemudian mempresentasikan apa saja kegiatan beliau dan tim dokter dalam program deteksi dini PJB di sekolah-sekolah.
Diharapkan di masa depan hal ini bisa menjadi program pemerintah dan dilakukan di semua Sekolah Dasar. Kemudian juga sekilas dijelaskan kegiatan kerjasama research dengan Kobe University, dan yang terakhir update mengenai sildenafil yang sudah masuk fornas tinggal menunggu masuk ke BPJS sehingga sildenafil dapat dicover nasional. Harapannya agar RS Sardjito bisa menjadi PH center di Indonesia.
Kesimpulannya: PRnya masih banyak banget, dan ini membutuhkan kerjasama semua pemangku kepentingan mulai dari pasien, dokter, farmasi, sampai ke pemerintah.
Pk. 15.15 presentasi selesai, kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab dengan moderator dr. Anggoro dan dr. James Yip.
Pk. 16.00 acara selesai.
Demikian resume acara JINCARTOS 2017, sampai jumpa di JINCARTOS 2018.
Semoga semua tetap sehat dan semangat. Karena harapan itu masih ada. GBU all