Oleh: Saras Rahayu
~ Aku Lebih Istimewa Dengan Keadaanku ~
Assalamualaikum teman teman semua yang berbahagia
Perkenalkan aku Saras, usia 23th asal Jogja dan sekarang menetap di Bali, kampung asal pak suami. Aku punya 2 anak, perempuan usia 2thn dan laki laki 6bulan. Pekerjaan sekarang, Alhamdulillah fulltime mengurus anak dan rumah tangga.
Disclaimer: Cerita ini hanya untuk memotivasi ya, tidak semata-mata menyebarkan aib keluarga dengan Cuma-cuma dan semoga teman-teman termotivasi dengan cerita ini.
Aku terdiagnosa PJB ASD dan PH (Hipertensi Paru) sejak Oktober 2022 dan Mental Disorder pada Mei 2023.
Berawal dari sesak nafas yang membuatku masuk UGD pada akhir april lalu, disitu saturasi menunjuk di angka 70 dan stabil lagi setelah 10 menit kemudian setelah di kasih obat serbuk dibawah lidah, yang waktu itu aku kurang tau nama obatnya karena saking paniknya ga baca dulu bungkus obatnya.
Setelah itu diajak ngobrol sama perawat UGD. Disitu aku menceritakan bahwa bener-bener lagi keadaan stress banget, pikiran campur aduk karena aku dipaksa suami ikut tinggal di rumah mertua yang disitu banyak banget perokok, pastinya aku sangat kurang setuju karena dengan kondisi penyakit jantungku dan bayiku masih usia 1 bulan. Aku hanya bisa menangis di kamar karena merasa tidak ada yang mau mengerti posisiku saat itu. Bahkan semua orang di situ menganggap aku terlihat sehat padahal mereka tau betul bahwa aku punya sakit jantung dan pasca operasi saecar..
Setelah aku balik lagi kontrol ke Poli jantung, aku menceritakan kepada dokter tentang kondisiku yang sempat masuk UGD dan sempat berhenti obat lalu menghancurkan semua obat itu. Dokter berkata bahwa bisa jadi sesak itu karena asam lambung yang naik, langsung hari itu juga aku di konsulkan ke psikiatri dengan alasan gangguan kecemasan.
Sesampainya di poli jiwa, akhirnya dokter menanyakan kondisiku, dan akhirnya aku bisa sangat leluasa menceritakan semuanya, hingga tangis itu pecah di ruang poli.
Belum ada diagnosa pasti mengenai penyakit jiwa ku, dan ternyata aku mempunyai innerchild yang terluka, pola asuh masa kecil yang bisa jadi karena genetik, yang menjadikan ku sekarang mempunyai depresi, gangguan cemas, serangan panik, dan trikotilomania (suka mencabuti rambut sendiri) dan eksim. Semua sangat kompleks hingga menghantarkanku pada keadaan ku yang sekarang. Karena latar belakang keluarga, aku jadi bahan bully orang orang sekitar.
Dulu di masa kecil hingga umur 15th dan keluarga yang seharusnya menjadi rumah ternyaman untuk bercerita malah ikut menghakimiku. Yaa, aku terlahir tanpa seorang ayah yang mendampingi ibuku, ayah meninggal ketika aku masih berada dalam kandungan, entah usia kehamilan berapa. Aku tidak tau sama sekali cerita masa kecilku, karena aku tak pernah menanyakan itu kepada keluarga ku terutama ibu. Aku anak yang pendiam di dalam keluarga, seakan tak pernah mempunyai hak untuk berbicara, pola asuh dari Ibu yang mungkin juga ada depresi yang membuat ku selalu kena pukulan setiap hari, itu yang membuatku jadi kurang akrab dengan anggota keluarga.
Setelah lulus sekolah, aku mencoba merantau sendiri ke Jakarta, karena merasa sangat tertekan di dalam keluarga, di situ aku sudah sering sakit sakitan. Dan Alhamdulillah MaasyaAllah dengan jalan takdir yang sedemikian rupa, aku memutuskan untuk hijrah, untuk semakin dekat dengan Allah, hingga aku memutuskan menikah karena merasa sudah capek menjalani hidup dengan kesendirian ku dan ingin mencari RidhoNya.
Setelah menikah, ujian hidupku justru bertambah, aku mengalami KDRT yang ternyata suamiku juga punya innerchild yang terluka, aku mengenalnya dalam waktu singkat. Aku mengalami culture shock di lingkungan suamiku, terutama dalam pola asuh anak. Suami yang ternyata juga ada gangguan mental (namun belum mau diajak berobat/konsul). Hanya bisa pasrah aku percaya bahwa Allah tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan hambaNya.
Awal terdiagnosa sakit jantung atau PH ini ketika aku hamil anak ke 2. Masuk UGD karena sesak dan muntah lebih dari 10x. Dan ternyata ada jantung bawaan ASD, setelah itu langsung di rujuk ke RSUP untuk melakukan serangkaian tindakan awal. Dan akhirnya terapi obat sampai saat ini selagi menunggu tindakan selanjutnya. Saat hamil kondisi ku sangat terbatas, mudah lelah, mudah sesak, badan semakin kurus tapi perut semakin membesar, sambil mengurus anak pertama yang saat itu masih umur 12bulan saat aku di diagnosa pertama kalinya.
Alhamdulillah Allah masih selalu beri kekuatan untuk membersamai anak anak. Setiap kontrol di rencanakan metode persalinan yang berubah ubah, dari yang awalnya harus SC oleh dokter Jantung, akhirnya masih bisa di usahakan normal di bantu forscep (namun akan menimbulkan robekan yang besar). Awalnya di rencanakan 37weeks untuk persalinan, tapi ternyata BBJ nya masih 2,3kg dan karena dokter menanyakan kondisi ku dan aku bilang masih sanggup, akhirnya aku bertahan untuk mengusahakan agar BBJ di angka normal.
Dan Alhamdulillah di 38 weeks aku rembes ketuban dan BBJ sudah di angka 2,6kg. Akhirnya mulai kontraksi dan kalau di jam 6 sore belum ada pembukaan lengkap akan dilakukan pacu, tapi karena kontraksi semakin intens dan ternyata sang janin tidak se-intens kontraksi rahim nya, akhirnya di putuskan untuk SC di jam 6 itu. Tindakan SC dilakukan jam 9 karena aku harus puasa minimal 3 jam sebelumnya. Entah medote SC apa aku lupa menanyakan, yang pasti bius yang dimasukkan di tulang belakang itu lumayan banyak macamnya untuk penyakit PJB ini, bukan seperti SC orang normal. Setelah di bius rasanya mual dan menggigil, pas perut di tarik tarik tambah mual, tapi Alhamdulillah aku bisa menahannya. Setelah proses selesai, dibawa ke ICU untuk di monitoring alat lengkap.
Alhamdulillah satu hari terlewati karena kondisi stabil dan semangat ku untuk segera bertemu dengan anak-anak, lalu aku di pindahkan ke HCU, karena masih harus di monitoring dengan alat, disitu aku berusaha memerah ASI untuk mendapatkan kolostrum karena aku sangat sedih setelah itu tidak boleh menyusui.
Aku berusaha untuk selalu aktif bergerak dan belajar duduk sesegera mungkin, karena aku sangat kepikiran dengan anak balita ku yang memang ga pernah pisah sama aku ibunya. Dan Alhamdulillah 5hari aku jalanin di rumah sakit yang sebenarnya itu terlalu cepat untuk kondisi pasien seperti kita.
Tapi Alhamdulillah karena semangat ku bisa berkumpul dengan anak anak lagi, aku selalu dengarkan arahan dokter dengan minum obat tepat waktu, belajar bangun duduk berjalan, dan makan tepat waktu sampai habis tak tersisa.
Setelah pulang, bayiku kuning, tidak mau menyusu dan sulit di bangunkan. Akhirnya di rawat di RS 3 hari, di fototerapi dan di infus karena sudah lemas. Akhirnya saat aku kontrol ke dokter Jantung, aku meminta agar bisa diganti obatnya yang memperbolehkan aku menyusui, awalnya dokter masih tidak menyarankan karena demi kesehatanku, tapi aku hanya diam dan berdoa kepada Allah agar ada jalan keluarNya. lalu tiba2 dokter keluar ruangan, beberapa menit masuk akhirnya mengijinkan aku untuk menyusui dan akhirnya ganti obat.
Alhamdulillah aku dan anakku sehat sampai saat ini. Meski di 4bulan pasca persalinan aku masih menyesuaikan obat dan mengelola pikiran ku yang sangat kacau setiap harinya. Susah dan ribetnya berobat di RS tempat ku ini karena antrian yang luar biasa, dan staff yang lumayan galak.
Tidak ada manusia yang terlepas dari ujian kehidupan, setiap ujian itu pasti ada hikmahnya, sendiri atau bersama, mau tidak mau harus tetap di hadapi. Gapapa, kita diberikan keistimewaan oleh Allah, tidak semua manusia diberikan kekuatan seperti kita, kelainan seperti kita, manusia hebat manusia pilihan. Gapapa ngeluh, itu tandanya kita masih manusia, yang penting tidak berlebihan dan membahayakan nyawa.
Oiyaa, jika kita bertemu dengan orang yang pernah ke psikiater atau dia menceritakan keluh kesahnya tanpa henti dan dengan gejala yang serupa dengan ku, janganlah dihakimi dengan kalimat “pasrahin aja ke Allah, jugan terlalu dipikirin, lebih deket lagi sama Allah” apalagi berfikir bahwa mereka kurang iman, itu malah membuat mereka semakin down dan merasa tidak ada tempat lagi untuk mengadu. Dengarkan saja ceritanya meski itu kadang membuat kita risih dengan ceritanya, sarankan untuk mendatangi profesional (psikolog /psikiater), karena penyakit jiwa itu juga penyakit medis bukan hanya non medis, seperti kita yang mempunyai penyakit ini, bahkan membuat kita semakin dekat dengan Allah kan? Tapi Allah pengen liat usaha kita dan kesabaran kita menghadapi penyakit ini. Kalaupun nanti tidak sembuh, insyaallah setiap usaha kita menjadi pahala amal sholih dan di gugurkannya dosa dosa kita.
Coba tarik nafas dan tanamkan dalam pikiran kita “aku ini manusia hebat, pilihan, dikasih kekuatan lebih, bahkan bisa melakukan apapun lebih dari orang normal, aku dan mereka (orang normal) adalah sama, bedanya hanya aku lebih istimewa dengan keadaanku, aku melakukan apa yang mereka tidak lakukan, pun sebaliknya. Kematian itu pasti, tinggal bagaimana kita mempersiapkannya.